Hikayat
Marga SIMANJUNTAK
“SIMANJUNTAK
apa kamu, Parhorbo jolo atau Parhorbo pudi?” Pertanyaan ini sering ditujukan
bagi mereka marga SIMANJUNTAK. Pertanyaan ini muncul dari generasi ke generasi,
mengapa? Apa sebenarnya maksud dari pertanyaan itu?
Narator
yang lahir di Mandailing dan telah merantau pada tahun 1961 ke Tapanuli Utara
mulai dari Tarurung sampai ke Balige adalah putera sulung ‘SIMANJUNTAK Natua
Tua I’ atau disebut ‘Mangaraja Toba’ di kalangan masyarakat Mandailing.
Sewaktu
narator berada di tanah leluhur SIMANJUNTAK, di Balige, narator sering dianggap
bukan SIMANJUNTAK karena merantau ke daerah asal SIMANJUNTAK. Hal ini
menyebabkan narator ingin menguak asal-usul marga SIMANJUNTAK dan seluk beluk
mulanya sebutan Parhorbo jolo dan Parhorbo pudi sekembalinya ke Mandailing pada
tahun 1964.
Kemudian
narator bertanya kepada ayahnya yang adalah ‘SIMANJUNTAK Na Tua Tua I’ tentang
hikayat marga SIMANJUNTAK hingga kemudian menerima tarombo (silsilah) marga.
Mengingat pesan dari orangtuanya yang mengatakan; “Ingat, jangan lupakan tetapi
ceritakanlah kembali hikayat ini kepada seluruh keturunanku kelak”, maka
narator menceritakan hikayat marga SIMANJUNTAK ke dalam bahasa Indonesia.
Bagi
pembaca yang bukan keturunan CYRUS JALA SIMANJUNTAK (SIMANJUNTAK Na Tua Tua I)
kami keturunannya MEMOHON MAAF apabila ada hal yang menyinggung perasaan
pembaca dan atau cerita ini menyimpang karena berbeda versi dengan yang pembaca
ketahui.
SOBOSIHON
Boru SIHOTANG Istri RAJA MARSUNDUNG
RAJA
MARSUNDUNG SIMANJUNTAK adalah anak kedua dari pasangan TUAN SOMANIMBIL dan Boru
LIMBONG. Mereka mempunyai tiga anak;
1.SOMBA DEBATA SIAHAAN.
Menikah dengan Boru LUBIS.
2.RAJA MARSUNDUNG SIMANJUNTAK, menikah dengan Boru HASIBUAN
lalu kemudian menikah dengan SOBOSIHON Boru SIHOTANG.
3.TUAN MARRUJI HUTAGAOL, menikah dengan Boru PASARIBU.
RAJA
MARSUNDUNG menikah dengan Boru HASIBUAN. Mereka menetap di Hutabulu (sekarang
Parlumbanan). Mereka dikaruniai seorang putera bernama RAJA PARSURATAN dan
seorang puteri bernama SIPAREME. Kehidupan mereka diberkati dengan banyak
sekali ternak kerbau sehingga orang sering menyebut RAJA MARSUNDUNG dengan
SIMANJUNTAK Parhorbo.
Maut
kemudian memisahkan dan RAJA MARSUNDUNG menjadi duda separuh baya. Suatu saat
dia sakit parah bahkan tidak sanggup mengurus dirinya sendiri. Menurut adat
Batak Toba yang pantas mengurus dia hanya Boru LUBIS yaitu istri abangnya
(akang boru). Kalau Boru PASARIBU yang adalah istri adiknya (anggi boru)
pantang saling bicara dengan dia begitu juga menantunya (parumaen) tidak boleh
berbicara dengan dia sebab begitu adatnya. Sementara puterinya sendiri,
SIPAREME segan mengurusnya sampai ke hal yang sensitif.
Ketika
RAJA MARSUNDUNG pulih dari penyakitnya SOMBA DEBATA SIAHAAN menganjurkan agar
dia menikah lagi supaya ada yang mengurusnya kelak apabila dia sakit. Hal itu
tidak disetujui RAJA PARSURATAN dan TUAN MARRUJI HUTAGAOL namun, karena pengalaman
pahit yang telah dialaminya, RAJA MARSUNDUNG setuju untuk menikah lagi.
Pada
masa itu ada istilah kalau ingin mencari istri pengganti maka sebaiknya pergi
menyeberangi danau Toba (versi Toba: molo mangalului panoroni ba borhatma tu
bariba ni tao Toba). SOMBA DEBATA SIAHAAN dan RAJA MARSUNDUNG pun berangkat ke
daerah Siraja Oloan. Di sana ada seorang lelaki yang agak aneh rupa tubuhnya.
Bentuk kepalanya besar dan dia dinamai RAJA SIGODANG ULU SIHOTANG. Keanehan ini
juga tampak pada anak-anaknya sehingga terkadang mereka sering dikucilkan
banyak orang sampai-sampai walaupun puterinya sendiri SOBOSIHON sudah berumur
tapi belum ada laki-laki yang mau melamarnya hingga RAJA MARSUNDUNG melamarnya.
Kedatangan
RAJA MARSUNDUNG melamar SOBOSIHON sangat menggembirakan hati RAJA SIGODANG ULU
walaupun yang melamar puterinya adalah seorang duda yang sudah memiliki anak.
Namun itu bukan masalah baginya. Pernikahan secara adat sepenuh (adat na gok)
dilakukan. Wali pengantin lelaki adalah SOMBA DEBATA SIAHAAN. SOBOSIHON pun
menjadi istri RAJA MARSUNDUNG. Mereka bermukim di Parlumbanan (saat narator
berkunjung ke daerah Parlumbanan daerah ini merupakan lokasi persawahan).
Lahirnya
Anak Pertama Bernama RAJA MARDAUP
Setelah
tiba waktunya bagi SOBOSIHON untuk melahirkan, beberapa hari sebelumnya ayahnya
telah mengetahui tentang keadaannya itu. Namun, perasaan sang calon ibu ini
gelisah setelah bermimpi; ketika SOBOSIHON akan mandi di Aek Na Bolon, setelah
dia membuka bajunya tiba-tiba petir menyambar buah dadanya sebelah. Mimpi ini
juga diberitahukan kepada RAJA SIGODANG ULU. Setelah dia mendengar mimpi
puterinya itu dia menyuruh menantu perempuannya (parumaen) berangkat ke
Parlumbanan. Padahal menantunya ini baru lima hari selesai melahirkan bayi
perempuan namun, karena taat kepada mertuanya dia tetap bersedia pergi disertai
tugas dan pesan khusus RAJA SIGODANG ULU. Adapun tugas dan pesan itu;
-
Memberitahu SOBOSIHON bahwa akan ada bahaya yang mengancam setelah persalinan.
- Apabila bayi yang lahir laki-laki maka bayi itu harus ditukar dengan bayi perempuan menantunya ini dan bayi laki-laki itu harus dipangku dan disusui oleh menantu RAJA SIGODANG ULU sampai bahaya berlalu.
- Kelak apabila kedua bayi itu sudah dewasa maka mereka sebagai pariban telah dipertunangkan sejak lahir (dipaorohon).
- Apabila bayi yang lahir laki-laki maka bayi itu harus ditukar dengan bayi perempuan menantunya ini dan bayi laki-laki itu harus dipangku dan disusui oleh menantu RAJA SIGODANG ULU sampai bahaya berlalu.
- Kelak apabila kedua bayi itu sudah dewasa maka mereka sebagai pariban telah dipertunangkan sejak lahir (dipaorohon).
Sesampainya
di Parlumbanan menantu RAJA SIGODANG ULU atau yang disebut ‘Nantulang na Burju’
oleh Parhorbo pudi ini, mendapati SOBOSIHON sedang dibantu dukun beranak
(sibaso) untuk bersalin. Lalu kemudian lahirlah bayi laki-laki dan setelah
dimandikan sang bayi langsung ditukarkan sesuai pesan tadi.
Diadakanlah
acara makan bersama (pangharoanion) syukuran kelahiran bayi itu. Seluruh
penduduk kampung diundang. Mendengar kabar bahwa adik tirinya adalah laki-laki,
RAJA PARSURATAN menjadi benci dan ingin membunuh adiknya itu sebab menurutnya
kelak akan ada pewaris harta ayahnya selain dia.
RAJA
PARSURATAN pun datang ke acara itu dan dia membawa pisau penyadap pohon enau di
dalam sarung yang terselip di pinggangnya. Kehadirannya membuat semua orang
terharu sebab sebelumnya dia memusihi ibu tirinya, namun di saat kegembiraan
dirasakan dan dirayakan dia turut hadir di sana. itulah anggapan orang
kebanyakan. Padahal RAJA PARSURATAN hendak memanfaatkan keadaan ini untuk
membunuh adiknya. Lalu dia meminta supaya dia memangku adiknya yang baru lahir
itu. Dan bayi yang telah bertukar tadi pun dipangkunya sampai bayi itu
membasahi popoknya. RAJA PARSURATAN ingin mengganti kain pembungkus adiknya.
Inilah
kesempatan bagi RAJA PARSURATAN. Ketika mengganti kain popok adiknya dia
berencana menyelipkan pisau ketika kain itu dipakaikan. Dia pun meminta kain
pengganti pada SOBOSIHON. Namun SOBOSIHON takut kalau-kalau RAJA PARSURATAN
tahu bahwa bayi yang dipangkunya bukanlah adiknya. Dia mengatakan pada RAJA
PARSURATAN supaya biarlah ibu yang menggantikan. Akan tetapi karena RAJA
PARSURATAN tetap berkeras untuk mengganti kain adiknya maka orang banyak pun
menyuruh SOBOSIHON agar membiarkan hal itu terlaksana.
Saat
membuka kain basah bayi yang dipangkunya RAJA PARSURATAN terperanjat karena
bayi yang dilihatnya bukanlah bayi laki-laki. Merasa niatnya sudah terbaca maka
geramlah hatinya dan dia berdiri lalu melangkahi bayi itu dan berjalan
menghampiri SOBOSIHON dan berkata; “Orang mengatakan bahwa yang lahir adalah
adikku laki-laki tetapi engkau telah menipuku dengan memberi anak perempuan
orang lain untuk aku pangku, inilah bagianmu” RAJA PARSURATAN menghujamkan
pisau tepat di dada dan memotong buah dada SOBOSIHON lalu setelah itu dia
berlari meninggalkan keadaan yang kacau.
RAJA
PARSURATAN tidak berhasil menemukan dan membunuh adiknya tetapi buah dada
SOBOSIHON ibu tirinya telah menjadi tumbalnya (daupna) maka bayi laki-laki itu
diberi nama RAJA MARDAUP. Demikianlah RAJA MARDAUP diselamatkan ‘Nantulang na
Burju’ yang rela menyeberangi danau Toba demi menyampaikan pesan RAJA SIGODANG
ULU. Itulah sebabnya mengapa sampai sekarang semua keturunan SIMANJUNTAK dari
SOBOSIHON sangat menghormati keturunan SIGODANG ULU yaitu marga SIHOTANG.
Lahirnya
Anak Kedua yaitu Puteri Pertama Bernama SI BORU HAGOHAN NAINDO
SOBOSIHON
melahirkan bayi perempuan. Kabar ini terdengar ke seluruh penduduk daerah
Sibagot Ni Pohan. Namun hal ini tidak meresahkan hati RAJA PARSURATAN sebab
dalam tradisi Batak anak perempuan tidak berhak dalam perolehan warisan. Jadi
kelahiran adik tiri yang perempuan ini turut menggembirakan RAJA PARSURATAN.
Sang bayi diberi nama SI BORU HAGOHAN NAINDO.
Lahirnya
Anak Ketiga yaitu Putera Kedua Bernama RAJA SITOMBUK
Selang
beberapa tahun kemudian SOBOSIHON melahirkan. Begini ceritanya sehingga sang
bayi diberi nama RAJA SITOMBUK.
Tak
henti-hentinya RAJA PARSURATAN mengamati kehidupan ibu tirinya yang dianggap
bisa mengurangi jatah harta warisannya kelak. Dia bertanya kepada orang pintar
apa jenis kelamin bayi yang akan dilahirkan ibunya. Setelah mengetahui bahwa
bayi laki-laki jawabannya, dia berusaha merancang kecelakaan agar bayi itu
tidak bernyawa saat dilahirkan.
Saat
ayah dan ibunya tidak berada di rumah, dia bekerja keras untuk memotong kayu
penghalang papan yang ada tepat di sekeliling tiang tengah rumah (tiang
siraraisan) dimana setiap ibu rumah tangga yang hendak bersalin akan
menyandarkan badannya di tiang itu dan kain pegangan yang dipakai untuk
bersalin juga digantungkan di situ.
Adapun
maksud RAJA PARSURATAN supaya ketika ibunya bersalin kayu penghalang papan itu
rubuh ketika diduduki setelah itu sang bayi akan celaka terhimpit. Apa yang
terjadi? Ternyata kayu itu patah sebelum sang bayi lahir dan tembuslah lantai
rumah itu. Karena kaget setelah tergeletak di kolong rumah, seketika itu
melahirkanlah SOBOSIHON dan bayinya selamat. Bayi itu diberi nama RAJA
SITOMBUK. Tombus dalam bahasa Indonesia ‘tembus’. Papan lantai rumah telah
tembus dan kejadian itu pulalah yang membuat bayi dilahirkan selamat walau
tanpa bantuan dukun beranak.
Lahirnya
Anak Keempat yaitu Puteri Kedua Bernama SI BORU NAOMPON
Dengan
bantuan dukun beranak lahirlah bayi perempuan yang kedua bagi SOBOSIHON lalu
oleh RAJA MARSUNDUNG bayi itu diberi nama SI BORU NAOMPON. Sebelum proses
persalinan RAJA PARSURATAN telah mengetahui dari orang pintar bahwa adiknya
adalah perempuan. Hal ini tidak menjadi masalah baginya walau ketamakan akan
harta warisan masih memenuhi hati dan pikirannya saat itu.
Lahirnya
Anak Kelima yaitu Putera Ketiga Bernama RAJA HUTABULU
Kali
ini RAJA PARSURATAN pergi lagi bertanya kepada orang pintar perihal jenis
kelamin adik tirinya yang akan lahir. Jawaban dan pemberitahuan yang
diterimanya bahwa adiknya adalah laki-laki. Dia teringat akan permintaan orang
Batak perihal rumah; “Jabu sibaganding tua ima hatubuan ni anak dohot boru si
boan tua”. Artinya “Rumah tempat berbagai macam tuah adalah tempat lahirnya
putera dan puteri pembawa tuah”.
Kali
ini RAJA PARSURATAN ingin memusnahkan rumah tempat tinggal ayahnya dan ibu
tirinya. Dia sendiri telah mempunyai rumah setelah menikah dan pisah rumah dari
orang tuanya (manjae). Dia hanya mempunyai seorang anak laki-laki dan dia
merasa posisinya kelak terancam jika semakin banyak anak laki-laki yang
dilahirkan ibu tirinya. Inilah yang membuat dirinya selalu ingin berbuat
sesuatu untuk melenyapkan setiap bayi laki-laki dari ibu tirinya.
Waktunya
tiba dan SOBOSIHON akan melahirkan bayinya. Para ibu bersama dukun beranak
telah berkumpul dan memasuki rumah RAJA MARSUNDUNG. Dari kejauhan RAJA
PARSURATAN mengamat-amati mereka. Setelah melihat mereka telah masuk ke rumah
maka kemudian RAJA PARSURATAN membawa sulutan api. Dia membakar atap rumah dari
bagian dapur. Api menyala dan semua ornag berhamburan keluar rumah termasuk
SOBOSIHON. Dia panik sambil berteriak api.. api.. api.. api.. Dia pun
berpegangan pada batang bambu yang berada di pinggir pekarangan rumahnya.
Tidak
lama kemudian, orang-orang berdatangan ke sana dan berusaha bergotong-royong
memadamkan api. Perhatian orang teruju pada rumah yang mulai terbakar dan pada
saat itu pula di bawah pohon bambu lahirlah anak kelima dari SOBOSIHON yang
kemudian diberi nama RAJA HUTABULU karena bayi itu dilahirkan di bawah pohon
bambu di kampungnya.
Walaupun
selalu mendapat rintangan namun SOBOSIHON tetap tabah dalam setiap proses
persalinannya karena RAJA MARSUNDUNG dan keluarga SOMBA
DEBATA SIAHAAN terutama Boru LUBIS sangat memperhatikan dan mengasihinya.
RAJA
MARSUNDUNG Meninggal di Usia Lanjut
Usia
RAJA MARSUNDUNG kira-kira telah lebih delapan puluh tahun ketika dia meninggal.
Kepergian suaminya sangat membuat hati SOBOSIHON sedih sementara anak bungsu
mereka masih menyusui dan keempat anaknya yang lain masih belum cukup dewasa.
Bagi
suku Batak Toba anak tertua adalah pengganti ayah bagi adik-adiknya. Yang
paling kehilangan sosok ayah hanya anak tertua. RAJA PARSURATAN menggantikan
kedudukan ayahnya dalam segala hal penting dia menjadi kepala keluarga. Situasi
ini dimanfaatkan RAJA PARSURATAN untuk menguasai semua aspek kehidupan ibu tiri
dan adik-adiknya sehari-hari. Dia selalu bersikap diktator terhadap adiknya
terutama yang laki-laki. Namun SOBOSIHON selalu mengingatkan anak-anaknya agar
mereka selalu menghormati abangnya sebagai pengganti ayah.
SIPAREME
Puteri Sulung RAJA MARSUNDUNG Meninggal
Setelah
beberapa tahun ayahnya meninggal RAJA PARSURATAN memanfaatkan tenaga keenam
orang adiknya dengan anak tunggal serta istrinya untuk mengusahakan semua kebun
dan sawah peninggalan mendiang ayahnya dan dikelola seefektif mungkin.
Perekonomian RAJA PARSURATAN pun meningkat. Dia kemudian membangun rumah ukir
(ruma gorga).
Setelah
bangunan induk selesai maka proses berikutnya dalam pembangunan rumah ukir
tersebut adalah pembuatan ukiran. Untuk mengukir relif rumah pada masa itu
lazim digunakan darah manusia sebagai campuran pewarna relif. Hal tersebut agar
rumah itu mempunyai semangat atau ada keangkerannya. Mengingat RAJA PARSURATAN
bukanlah seorang yang kuat dalam berperang maka tidak mungkin baginya
mendapatkan darah manusia dengan berperang melawan negeri lain.
Timbul
niat jahat RAJA PARSURATAN terhadap adik perempuan tirinya. Pada suatu sore dia
meliahat kedua adik perempuannya tampak akrab sebab memang SIPAREME sudah gadis
dan HAGOHAN NAINDO mulai remaja. RAJA PARSURATAN ingin membunuh adik tirinya
untuk diambil darahnya sebagai campuran pewarna rumah ukirnya. Kedua adik
perempuannnya ini sering sama-sama tidur dengan SOBOSIHON ibu mereka. Hampir
setiap malam keduanya menganyam tikar (mangaletek) dan bila sudah larut mereka
tidur tanpa menyalakan lampu. Sedangkan untuk menghindari gigitan nyamuk mereka
menutup badannya dengan tikar (marbulusan). kebiasaan tidur marbulusan ini
sampai sekarang masih dapat dijumpai di beberapa daerah di Tapanuli Utara.
Demikianlah setiap malam cara kedua gadis ini menghabiskan waktu.
Tentang
rencana jahat RAJA PARSURATAN, untuk membedakan yang mana yang harus dibunuh
maka kepada SIPAREME diberikan sebuah gelang yang terbuat dari gading. Konon
gelang itu merupakan pusaka pemberian dari mendiang Boru HASIBUAN, ibunya RAJA
PARSURATAN. Lalu SIPAREME pun memakai gelang itu. Melihat gelang yang sangat
putih dan menyala dalam gelap, HAGOHAN NAINDO tertarik akan gelang itu. Dia
meminjam dan kemudian memakainya. Seperti biasanya mereka menganyam tikar
setelah malam tiba mereka tidur marbulusan dan gelang tadi masih di tangan
HAGOHAN NAINDO.
Malam
itu menjelang subuh datanglah pembunuh bayaran ke rumah RAJA PARSURATAN dengan
membawa pisau. RAJA PARSURATAN berpesan pada pembunuh itu bahwa sekarang ada
dua gadis yang tidur di rumah ayahnya dan gadis yang tidak memakai gelanglah yang
harus dibunuh. Pembunuh itupun melaksanakan tugasnya kemudian SIPAREME dibunuh
lalu darahnya ditampung dan diberikan kepada RAJA PARSURATAN. Sementara mayat
SIPAREME dibuang ke lembah yang tidak dapat dituruni yaitu yang sekarang
terletak di lembah Sipintu Pintu (perbatasan antara Balige dengan Siborong
Borong). Matahahari pun terbit dan air mata tangisan HAGOHAN NAINDO menetes
karena kakaknya telah hilang.
Demikianlah
rencana jahat RAJA PARSURATAN dimana dia hendak membunuh HAGOHAN NAINDO tetapi
yang terbunuh adalah SIPAREME yaitu adik kandungnya satu-satunya.
SOBOSIHON
Boru SIHOTANG Meninggal dengan Pesan
Melihat
tindak-tanduk anak tirinya SOBOSIHON selalu bersusah hati, apalagi setelah
SIPAREME diketahui dibunuh dan darahnya dijadikan campuran pewarna ukiran rumah
RAJA PARSURATAN. Hal ini membuat SOBOSIHON jatuh sakit hingga penyakitnya
parah. Saat penyakitnya semakin memburuk, dia dikelilingi kelima anaknya,
sedang RAJA PARSURATAN seperti biasanya pergi ke sawah. Saat itu SOBOSIHON
berpesan;
- Ingat
dan jangan lupakan apa yang telah dilakukan oleh abangmu RAJA PARSURATAN akan
tetapi, jangan balaskan perbuatan jahatnya karena hanya MULA JADI NA
BOLON (Tuhan) sajalah yang akan membalaskannya.
- RAJA PARSURATAN itu adalah abangmu sebagai ganti ayah bagimu, dimana dia duduk janganlah kamu menghampiri dan jika kamu sedang duduk di suatu tempat kalau dia datang tinggalkanlah dia, karena dia adalah ganti ayah bagimu yang harus kamu hormati.
- Jangan kamu menyusahkan hatinya walaupun dia menyusahkan kamu, bila kamu sedang menyalakan api di dapur rumahmu atau dimana saja lalu asapnya terhembus angin ke rumahnya atau ke arah di mana abangmu berada padamkanlah apimu itu supaya dia tidak mengeluarkan air mata karena asap apimu walaupun kamu harus terlambat menyiapkan masakanmu.
- Jangan bertengkar dengan abangmu, sebab itu apabila tanamanmu ada yang condong tumbuh mengarah ke pekarangan rumahnya seumpama tanaman pisangmu sedang tumbuh dan berjantung maka lebih baik tebang saja itu dari pada setelah buahnya ada lalu diambil oleh anaknya dan kamu tidak bisa menahan emosimu dan bertengkar.
- RAJA PARSURATAN itu adalah abangmu sebagai ganti ayah bagimu, dimana dia duduk janganlah kamu menghampiri dan jika kamu sedang duduk di suatu tempat kalau dia datang tinggalkanlah dia, karena dia adalah ganti ayah bagimu yang harus kamu hormati.
- Jangan kamu menyusahkan hatinya walaupun dia menyusahkan kamu, bila kamu sedang menyalakan api di dapur rumahmu atau dimana saja lalu asapnya terhembus angin ke rumahnya atau ke arah di mana abangmu berada padamkanlah apimu itu supaya dia tidak mengeluarkan air mata karena asap apimu walaupun kamu harus terlambat menyiapkan masakanmu.
- Jangan bertengkar dengan abangmu, sebab itu apabila tanamanmu ada yang condong tumbuh mengarah ke pekarangan rumahnya seumpama tanaman pisangmu sedang tumbuh dan berjantung maka lebih baik tebang saja itu dari pada setelah buahnya ada lalu diambil oleh anaknya dan kamu tidak bisa menahan emosimu dan bertengkar.
Setelah
menyampaikan pesannya SOBOSIHON menghembuskan nafas terkahir. Pesan inilah yang
kemudian sampai saat ini terus mewarnai pola hidup dari keturunan RAJA MARDAUP,
RAJA SITOMBUK dan RAJA HUTABULU dan pesan-pesan tersebut sangat dihargai dan
dituruti oleh seluruh keturunan SIMANJUNTAK SITOLU SADA INA.
SI
BORU HAGOHAN NAINDO Dibakar dengan Jerami
Setelah
beberapa tahun SOBOSIHON meninggal, keluarga SIMANJUNTAK tiga bersaudara satu
ibu ini dilanda kesedihan karena SI BORU HAGOHAN NAINDO gadis yang rupawan ini
meninggal dunia dengan cara yang menyedihkan.
Suatu
hari pada musim panen RAJA PARSURATAN telah menyabit sawahnya dan padinya telah
dikumpulkan di sawah hanya tinggal menunggu dibersihkan dari batangnya saja.
Cara membersihkannya dengan menginjak-injak batang padi yang ada bagian
bulirnya (mardege). Untuk mardege biasanya dilakukan secara bergotong-royong
bersama para tetangga di waktu subuh supaya ketika matahari terbit dan panas
menyengat padi yang sudah dilepas dari jeraminya tinggal dijemur dan pada sore
hari padi tinggal dibersihkan dari sekam dengan bantuan angin (mamurpur).
Pada
pagi yang naas itu RAJA PARSURATAN beserta beberapa orang berangkat ke sawah
untuk mardege. Sebelum berangkat dia berpesan pada SI BORU HAGOHAN NAINDO agar
menyiapkan makan siang dan membawanya ke sawah. Makan pagi telah dibawa istri
RAJA PARSURATAN. Sebenarnya ini adalah rencana jahatnya terhadap adiknya. sebab
sesungguhnya bekal makan pagi tidak jadi dibawa ke sawah.
Menjelang
siang semua orang yang bergotong-royong bekerja di sawah sudah bersungut-sungut
karena rasa lapar dan mereka berkata; “DImana adikmu yang akan membawakan
makanan pagi ini, kenapa dia belum datang juga?”. Sebelumnya RAJA PARSURATAN
mengatakan pada mereka bahwa dia sudah berpesan pada adiknya agar makan pagi
dipersiapkan, namun sebenarnya tidak demikian.
Sekira
pukul sebelas atau menjelang teriknya panas matahari (mareak hos ni ari)
datanglah SI BORU HAGOHAN NAINDO dengan membawa makanan tetapi dia disambut
dengan caci maku oleh semua orang. Lalu RAJA PARSURATAN mengambil hidangan yang
dijunjung di atas kepala SI BORU HAGOHAN NAINDO dan langsung mencampakkan air
panas ke wajahnya. SI BORU HAGOHAN NAINDO meraung-raung kesakitan wajahnya
melepuh. Saat itu pula RAJA PARSURATAN mengambil jerami dan menutupi badan SI
BORU HAGOHAN NAINDO lalu menyulut jerami itu dengan api sehingga SI BORU
HAGOHAN NAINDO terbakar hidup-hidup.
Demikianlah
SI BORU HAGOHAN NAINDO mati dalam rasa sakitnya yang tak terperikan. Setelah
tak bernyawa dia ditanam tanpa sepengetahuan saudara-saudaranya. Namun,
bagaimanapun setiap perbuatan busuk akan tercium juga baunya. Salah seorang
yang mengetahui pembunuhan itu berpihak kepada keturunan SOBOSIHON dan
menceritakannya pada mereka. Hal ini sering membuat puteri (boru) SIMANJUNTAK
yang mengetahui kisah ini merasa sakit hati terhadap Parhorbo jolo hingga kini.
RAJA
MARDAUP Menikah dengan Tunangannya (Oroan)
Kematian
SI BORU HAGOHAN NAINDO membuat SI BORU NAOMPON trauma tinggal di Balige. Dia
sering menangis mengingat peristiwa maut yang dialami kedua kakaknya. Dia
meminta ketiga saudaranya agar dia diantar ke daerah Siraja Oloan ke rumah RAJA
SIGODANG ULU SIHOTANG. Hal ini membuat ketiga saudaranya terharu.
Muncul
persoalan. Siapa yang akan menyiapkan makanan dan mengurus rumah apabila SI
BORU NAOMPON pergi? RAJA HUTABULU berkata pada abangnya; “Bukankah dulu abang
RAJA MARDAUP telah ditunangkan dengan paribannya sejak lahir? Sekarang abang
ambil saja dia menjadi pendamping abang secepatnya agar ada yang mengurus rumah
dan memasak makanan untuk kita”.
Perkataan
ini membuka jalan pikiran ketiga saudaranya dan sekaligus membuka jalan bagi SI
BORU NAOMPON untuk dapat tinggal di kampung Ompugnya. Lalu mereka berangkat ke
sana. Setelah SI BORU NAOMPON diantar kemudian ketiga bersaudara ini kembali ke
Balige bersama pariban yang telah menjadi istri RAJA MARDAUP, yaitu Boru
SIHOTANG cucu SI GODANG ULU yang kemudian melahirkan tiga orang anak laki-laki:
1.NAMORA TANO, menikah dengan Boru SIHOTANG.
2.NAMORA SENDE, menikah dengan Boru SIHOTANG.
3.TUAN SIBADOGIL, menikah dengan Boru SIAGIAN PARDOSI.
1.NAMORA TANO, menikah dengan Boru SIHOTANG.
2.NAMORA SENDE, menikah dengan Boru SIHOTANG.
3.TUAN SIBADOGIL, menikah dengan Boru SIAGIAN PARDOSI.
Demikianlah
kisah pertunangan antara RAJA MARDAUP dengan paribannya yang sudah
dipertunangkan dari lahir dan berakhir dengan pernikahan setelah mereka dewasa.
RAJA
SITOMBUK Menikah dengan Boru ARUAN dari Laguboti
Suatu
saat terdengar kabar bahwa di Laguboti ada seorang gadis cantik puteri dari
RAJA ARUAN dan cucu dari PANGULU PONGGOK. Gadis ini sangat pintar menyanyi dan
merdu suaranya. Mendengar kabar itu RAJA SITOMBUK yang mahir bermain seruling
bambu dan menguasai hampir semua lagu yang populer pada masa itu, datang
bertandang ke Laguboti.
Setibanya
di sana dia kemudian memainkan serulingnya. tanpa diketuk pintu rumah para
gadis di Laguboti telah terbuka untuknya bahkan kadang-kadang mereka sengaja
datang untuk melihat permainan suling itu dari dekat. Pilihan si pemuda ganteng
ini jatuh pada gadis tercantik yang mahir bernyanyi. Setiap RAJA SITOMBUK
bertandang ke Laguboti, kehadirannya selalu menjadi hiburan bagi muda-mudi
setempat.
RAJA
SITOMBUK menyampaikan maksudnya ingin mempersunting Boru ARUAN pada amang
tuanya yaitu SOMBA DEBATA SIAHAAN dan juga RAJA MARDAUP abangnya. Sepeninggal
mendiang SOBOSIHON, RAJA PARSURATAN sudah tidak perduli lagi terhadap keturunan
SOBOSIHON.
Akhirnya
pesta adat sepenuh pun (adat na gok) diadakan untuk memperistri Boru ARUAN.
Dari pernikahan ini RAJA SITOMBUK memperoleh seorang anak laki-laki bernama
RAJA MANGAMBIT TUA.
SI
BORU NAOMPON Menikah dengan Marga SIRAIT dari Marom
Puteri
dari RAJA MARSUNDUNG yang hidup hanya SI BORU NAOMPON. Dia tinggal bersama
ompungnya di Siraja Oloan. Suatu kali pada musim panen, RAJA MARDAUP dan RAJA
SITOMBUK sepakat untuk mengutus RAJA HUTABULU berangkat ke rumah ompung mereka
menjemput SI BORU NAOMPON menggunakan sampan kecil (solu pardengke).
Kemudian
RAJA HUTABULU tiba di rumah ompungnya dengan selamat. Dia memberitahukan bahwa
maksud dan tujuannya adalah untuk menjemput SI BORU NAOMPON. Lalu SI BORU
NAOMPON diberangkatkan oleh Tulang dan ompungnya dengan acara makan khusus
disertai doa agar kiranya SI BORU NAOMPON segera menemukan jodoh (sirongkap ni
tondi). Setelah itu berangkatlah mereka berdua menuju Balige.
Dalam
perjalanan menggunakan sampan di danau Toba yang luas angin berhembus kencang.
RAJA HUTABULU berusaha mengayuh dayungnya agar sampan bergerak menuju arah yang
dikehendaki. Tiba-tiba dayungnya patah dan hanyut terbawa ombak. Dalam keadaan
terombang-ambing sampan itu mengikuti arah angin dan untuk menenangkan keadaan
SI BORU NAOMPON bernyanyi; “Ue.. luahon ahu da parau, ulushon ahu da alogo
manang tudiape taho, asalma tu topi tao”.
Mendengar
ada suara wanita bernyanyi, seorang pemuda yang sedang berada di tengah danau Toba
dekat bagian pantai Marom langsung mengayuh sampannya menuju sumber suara itu.
Setelah mendekatkan sampannya dia melihat ada dua orang dalam sebuah sampan dan
mereka tidak mempunyai dayung. Setelah mengetahui bahwa keduanya bersaudara
maka pemuda itu (NA MORA JOBI SIRAIT) membawa mereka ke Marom dan beristirahat
satu malam di sana.
Keesokan
harinya dengan dayung baru serta dipandu NA MORA JOBI SIRAIT, mereka bertolak
dari Marom menuju Balige. Inilah pertemuan antara SI BORU NAOMPON dengan NA
MORA JOBI SIRAIT dan dengan senang NA MORA JOBI SIRAIT mengantar sampai ke
Balige. Beberapa hari kemudian mereka berdua sepakat untuk menikah. NA MORA
JOBI SIRAIT pun pulang dan memberitahukan hal itu pada orangtuanya yang sudah
melihat kecantikan SI BORU NAOMPON. Dengan senang mereka setuju dan mendukung
permintaan puteranya lalu berangkat melamar SI BORU NAOMPON.
Kenapa
Ada Parhorbo jolo dan Parhobo pudi?
RAJA
PARSURATAN sudah semakin tua dan jika hendak pergi kemana-mana dia enggan pergi
sendirian. Kadang-kadang dia membawa anak tunggalnya kalau bepergian tetapi
sering juga bersama adik tirinya yang masih lajang yaitu RAJA HUTABULU. Suatu
saat RAJA PARSURATAN pergi dan RAJA HUTABULU ikut serta sebagai pembawa
kantongan (sitiop hajutna). Mereka berjalan mengikuti jalan setapak naik turun
lembah. Ketika mereka berjalan di dataran tinggi Silangit tiba-tiba RAJA
HUTABULU melihat segumpal benda jatuh dari langit dan menggunakan ulos hande
handenya kemudian benda itu diraih dan dibungkusnya.
RAJA
PARSURATAN melihat adiknya berlari dan berkata; “Adikku, benda apa yang tadi
kamu tangkap?”. Sahut adiknya; “Abang yang kuhormati, aku belum tahu apa yang
kutangkap dan bungkus ini, tetapi aku akan membukanya dan memberitahukan apa
isi ulosku ini pada abang apabila kita sudah kembali ke kampung kita, asalkan
abang berjanji akan membagikan harta peninggalan mendiang ayah kita”. Tanpa
pikir panjang RAJA PARSURATAN pun setuju. Sebenanrnya RAJA MARDAUP dan RAJA
SITOMBUK tidak pernah berani meminta bagian harta warisan pada abang mereka.
Setelah
kembali ke kampung RAJA HUTABULU menceritakan pada kedua abangnya tentang janji
abangnya yang akan membagi harta warisan.
Tibalah
waktunya, tua-tua kampung diundang datang berkumpul menyaksikan pertemuan itu.
RAJA HUTABULU menyatakan maksudnya pada kumpulan tua-tua itu (ria raja).
“Karena ada sesuatu yang jatuh dari langit dan kutampung lalu kubungkus dengan
ulos hande handeku dan ini terjadi dalam perjalanan aku bersama abang yang
kuhormati sewaktu di Silangit. Abang kami ini ingin mengetahui apa isi dari
bungkusan ini yang aku sendiri juga belum tahu. Namun abang yang kuhormati ini
telah berjanji akan memberikan bagian warisan peninggalan mendiang ayah kami
apabila aku menunjukkan dan membagi benda yang akan kita lihat ini”. Perkataan
tersebut dibenarkan oleh RAJA PARSURATAN dan disaksikan oleh semua orang yang
berkumpul di halaman rumah RAJA MARSUNDUNG.
Maka
dihadapan para tua-tua RAJA HUTABULU membuka bungkusan hande handenya itu dan
tampaklah abu bekas sarang burung yang terbakar di dalamnya. Setelah RAJA
PARSURATAN melihatnya dia mengatakan bahwa bukannya dia tidak mau membagi
warisan dan kemudian dia berkata; “Tunggu kalianlah dapat dulu dua bulan”. Lalu
kumpulan pun bubar dengan kesimpulan bahwa setelah dapat waktunya dua bulan
baru akan ada pembagian warisan.
Dua
bulan kemudian RAJA HUTABULU mengumpulkan tua-tua kampung untuk melakukan ria
raja. Di hadapan ria raja RAJA PARSURATAN berkata pada adiknya; “Mana bulan
yang sudah kamu dapat, sudahkah ada dua?”. Semua yang mendengarnya heran
ternyata maksud dari ucapan RAJA PARSURATAN pada ria raja sebelumnya bukanlah
mengenai tenggang waktu dua bulan, melainkan tentang mendapatkan dua buah
bulan. Maka ria raja berakhir dengan kekecewaan pihak tiga bersaudara seibu.
Dua
minggu kemudian malam harinya ketika posisi bulan persis berada di atas langit,
pergilah RAJA HUTABULU ke sumur tempat dimana dulu mendiang ayahnya biasa
mandi. Dia menatap ke permukaan air dalam sumur dan melihat bayangan bulan di
situ. Segera kemudian dia bergegas menjumpai kedua abangnya dan mengatakan
bahwa dia baru saja menemukan dua buah bulan.
Dengan
rasa was-was kedua abangnya dan RAJA HUTABULU kembali mengundang tua-tua
kampung. Setelah semuanya hadir termasuk RAJA PARSURATAN lalu RAJA HUTABULU
berdiri dan berkata; “Amang raja na liat na lalo, lumobi di ho angkang raja na
malo, didokhon ho dung dapot dua bulan asa lehononmu parbagianan sian na
pinungka ni amanta na hinan. On pe saonari ba nunga dapothu be alus ni hatami
raja bolon. Betama hita tu parmualan paridian ni amanta an”. Artinya;
“Bapak-bapak sekalian kumpulan yang terhormat, amat terlebih abang yang
kuhormati, kamu berkata setelah dapat dua buah bulan barulah kamu memberikan
warisan dari mendiang ayah kita dan kini aku sudah menemukannya. Marilah kita
bersama-sama ke sumur tempat mandi ayah.
Seluruh
yang hadir di situ berjalan menuju sumur. Setibanya di sana RAJA HUTABULU
menunjuk ke permukaan air di dalam sumur dan terlihat ada bayangan bulan di
situ, kemudian dia menunjuk ke atas dimana juga terlihat ada bulan. Akhirnya
RAJA PARSURATAN tidak dapat lagi mengelak dan dilakukanlah pembagian warisan
setelah mereka kembali ke halaman rumah.
Lalu
kemudian RAJA PARSURATAN berkata; “Sekarang di hadapan tua-tua aku akan membagi
warisan peninggalan orang tua kita”. Beginilah pembagiannya:
1. Mengenai sawah, karena aku adalah anak dari istri pertama ayah, maka tanah persawahan yang pertama dialiri air adalah milikku dan karena ibu kita dua orang, maka tanah akan dibagi dua luasnya.
2. Mengenai semua kerbau milik mendiang ayah kita, karena aku adalah anak dari istri pertama ayah, maka paha depan (parjolo) setiap kerbau merupakan bagianku, sedangkan paha belakang adalah bagian kamu bertiga anak istri ayah yang kemudian (parpudi).
1. Mengenai sawah, karena aku adalah anak dari istri pertama ayah, maka tanah persawahan yang pertama dialiri air adalah milikku dan karena ibu kita dua orang, maka tanah akan dibagi dua luasnya.
2. Mengenai semua kerbau milik mendiang ayah kita, karena aku adalah anak dari istri pertama ayah, maka paha depan (parjolo) setiap kerbau merupakan bagianku, sedangkan paha belakang adalah bagian kamu bertiga anak istri ayah yang kemudian (parpudi).
Pembagian
warisan itu ditetapkan di hadapan tua-tua kampung dan tidak ada seorang pun
yang berbicara menentang pembagian itu.
Narator
sendiri yang adalah keturunan SIMANJUNTAK SITOLU SADA INA sudah melihat
langsung lokasi sawah warisan dari RAJA MARSUNDUNG yang dibagi dua itu.
Kenyataannya setelah diamati; sawah di kampung Parsuratan terletak di hulu Aek
Bolon yang mengairi persawahan di daerah itu, sedangkan sawah di kampung
HUTABULU berada di hilir. Sekiranya musim kemarau melanda, maka kampung
Parsuratanlah yang terlebih dahulu menikmati air setelah air dipakai baru
kemudian dialirkan ke hilir.
Mengenai
pembagian warisan ternak, di kalangan masyarakat Batak Toba bila hendak membagi
ternak berkaki empat, maka ternak itu dibagi dua dan selalu dibagi menjadi
sebelah-sebelah (sambariba). Namun RAJA PARSURATAN membagi dengan cara lembu
dibagi berdasarkan paha depan (parjolo) dan paha belakang (parpudi). Hal ini sangat
aneh dan dibalik keanehan itu sebenarnya RAJA PARSURATAN telah mengantisipasi
ke depan supaya hanya dia yang selalu memanfaatkan tenaga kerbau untuk membajak
sawah dan menarik pedati makanya dia membagi dengan cara yang demikian. Jadi
karna hanya satu-satunya peristiwa pembagian kerbau yang demikian anehnya, maka
orang kebanyakan sejak saat itu menyindir dengan sebutan ‘Parhorbo jolo’
terhadap RAJA PARSURATAN dan keturunannya. Sedangkan kepada ketiga bersaudara
seibu orang menyebut mereka dengan ‘Parhorbo pudi’.
Bagi
para pembaca yang bermarga atau Boru SIMANJUNTAK narator mengajak dan berpesan
bila kita ditanya; “SIMANJUNTAK mana kamu?” sebaiknya kita jawab “SIMANJUNTAK
PARSURATAN” atau “SIMANJUNTAK SITOLU SADA INA” sebab istilah ‘Parhorbo jolo’
dan ‘Parhorbo pudi’ merupakan sindiran masyarakat Batak Toba tempo dulu
terhadap pembagian warisan ternak kerbau kita. Sindiran itu berkembang dan kini
dianggap sebagai suatu istilah padahal kita keturunan SIMANJUNTAK RAJA
MARSUNDUNG sudah tidak ada lagi kerbau kita, bukan?
RAJA
HUTABULU Menikah dengan Boru SIHOTANG (Boru ni Tulang)
Telah
diceritakan bahwa RAJA HUTABULU sejak remaja sampai menjadi seorang pemuda
sering berkunjung ke daerah Siraja Oloan ke rumah Ompungnya (SIGODANG ULU
SIHOTANG) baik itu karna mengantar jemput itonya (SI BORU NAOMPON) maupun hanya
sekedar bertandang ke sana.
Suatu
ketika dia melihat seorang Boru Tulang yang sangat cantik dan boleh dikatakan
gadis tercantik di seluruh daerah Siraja Oloan. Kemudian karena RAJA HUTABULU
memang seorang pemuda pintar (simak kisah bagaimana ketika dia menghadapi abang
tirinya, dia selalu tampil piawai dalam pemikiran dan pembicaraan) dan hal ini
terdengar sampai ke daerah Siraja Oloan. Boru Tulangnya tadi sudah pernah
berkunjung ke Balige, yaitu ke tempat amang borunya (ayahnya RAJA HUTABULU).
Jadi merupakan pilihan yang tepat jika RAJA HUTABULU mempersunting paribannya
itu menjadi istrinya.
Lahirnya
Putera Pertama RAJA HUTABULU Bernama RAJA ODONG
Suatu
saat sewaktu suami istri RAJA HUTABULU dan Boru SIHOTANG duduk-duduk di depan
rumahnya, melintaslah seorang yang buruk rupa dan Boru SIHOTANG menyeletuk;
“Jelek sekali orang ini seperti beruk aku lihat” (versi Toba; “Roa nai jolma on
songon bodat huida”). Perkataan itu kedengaran oleh orang tadi dan dia
membalas; “Aku kamu bilang seperti beruk? Biarlah lahir anakmu yang seperti
beruk!” (versi Toba; “Ahu didok ho songon bodat? Ba sai tubuma anakmu na songon
bodat!”). Pada saat itu Boru SIHOTANG sedang mengandung anak pertamanya dan
perkataan orang tadi selalu mengiangiang di telinganya.
Pada
waktu akan melahirkan Boru SIHOTANG Na Uli pernah bermimpi ada seorang tua
datang padanya dan mengatakan bahwa yang akan lahir darinya adalah bayi
laki-laki yang memiliki kesaktian sebab itu tidak perlu kuatir atau kecewa
apabila nantinya ada yang agak berbeda pada tubuhnya. Mimpinya ini
diberitahukan pada suaminya dan mereka berdua merasa was-was menantikan
kelahiran anak pertama mereka.
Tibalah
harinya, setelah bersalin diketahui bahwa sang bayi memiliki bentuk tulang
punggung lebih panjang sekitar satu jari telunjuk dari bokongnya tampak seperti
ekor yang pendek. Dan saat itu RAJA HUTABULU melirik keluar jendela rumahnya,
tampak ada seorang tua berdiri di halaman rumahnya dan berkata; “Hai bapak,
jangan bersusah hati karena anakmu itu adalah seorang anak sakti” (versi Toba;
“He amang, unang ho marsak alana anakmi nahasaktian”). Setelah berkata demikian
orang itu berubah menjadi londok dan langsung memanjat pohon enau kemudian
hilang di antara pelepah enau. RAJA HUTABULU spontan berteriak; “Raja Hodong..
Raja Hodong.. Raja Odong..” (versi Toba; “Raja Pelepah.. Raja Pelepah.. Raja
Pelepah..”). Setelah peristiwa itu bayi pertama itu pun diberi nama RAJA ODONG.
Secara fisik RAJA ODONG sangat tampan rupanya sebab ibunya cantik dan ayahnya
tampan dan gagah.
RAJA
ODONG makin bertambah besar dan pada waktu dia belajar duduk ayahnya membuatkan
bangku pendek yang ditengahnya dilubangi tempat tulang RAJA ODONG yang seperti
ekor itu. Tidak banyak orang yang mengetahui keanehan ini karena masa itu belum
ada celana. Pakaian orang Batak adalah ulos yang dililitkan menutupi badan yang
disebut heba heba.
Menurut
penyelidikan antropologi budaya Batak Toba, sejak keberadaannya orang Batak
tidak pernah bertelanjang karena ulos Batak sama usianya sejak adanya SI RAJA
BATAK (orang Batak pertama). Sebelum Belanda datang ke tanah Batak, maka ulos
Batak dipakai sehari-hari sebagai berikut:
- Ulos yang menutupi badan disebut heba heba.
- Ulos yang menutupi bahu ke bawah disebut hande hande yang juga sering disandangkan di bahu.
- Ulos penutup kepala disebut saong saong dan bila diikatkan di kepala maka disebut bulang bulang atau tali tali.
- Ulos yang menutupi badan disebut heba heba.
- Ulos yang menutupi bahu ke bawah disebut hande hande yang juga sering disandangkan di bahu.
- Ulos penutup kepala disebut saong saong dan bila diikatkan di kepala maka disebut bulang bulang atau tali tali.
Tingkat
budaya berpakaian pada masa itu membuat RAJA ODONG tidak merasa minder jika bersosialisasi
dengan orang lain. Hanya keluarga dekat saja yang mengetahui kelebihan RAJA
ODONG ini.
Lahirnya
Putera Kedua RAJA HUTABULU Bernama TUMONGGO TUA
Setelah
beberapa tahun kemudian istri RAJA HUTABULU kembali mengandung dan selama
mengandung dia selalu memohon tuah agar MULA JADI NA BOLON (Tuhan) memberikan
seorang anak laki-laki lagi tetapi yang tidak mempunyai keanehan. Doanya pun
terkabul dan lahirlah seorang anak laki-laki yang rupanya sama persis seperti
abangnya. Bahkan setelah dewasa kedua anak RAJA HUTABULU ini sama besarnya dan
banyak orang menyangka keduanya adalah saudara kembar. Begitu lahir dan
ternyata bayinya laki-laki maka dia diberi nama TUMONGGO TUA yang bila
diartikan ke dalam bahasa Indonesia artinya memohon tuah melalui doa.
Setelah
kedua anak ini semakin dewasa mereka kelihatan tampan dan gagah melebihi ayah
mereka. Banyak gadis yang tertarik dan jatuh cinta pada mereka. Tetapi apabila
berkenalan lebih jauh dengan keduanya maka akan diketahui bahwa RAJA ODONG
memiliki perbedaan dengan adiknya.
Taktik
dan Romantisme
Setelah
sekian lama saling mencinta dengan Boru SIHOTANG paribannya, TUMONGGO TUA ingin
segera menikah. Namun orang tuanya menganjurkan kalau dia boleh menikah setelah
abangnya menikah. Satu-satunya cara agar TUMONGGO TUA dapat segera menikah
adalah dengan mencarikan seorang calon istri bagi abangnya. Lalu pergilah
TUMONGGO TUA dengan sampan ke pulau Samosir. Di sana konon banyak gadis yang
sampai berumur tua belum menikah karena ketatnya hukum bersaudara. Bagi
kesatuan marga keturunan NAIAMBATON yang banyak bermukim di Samosir sampai
sekarang masih tetap mempertahankan tradisi tidak boleh saling menikah antar
sesama keturunan marga-marga NAIAMBATON.
Selama
di atas sampan dalam perjalanannya TUMONGGO TUA selalu memohon kepada MULA JADI
NA BOLON supaya dia bertemu dengan seorang gadis cantik untuk dilamar menjadi
kakak ipar (angkang boru). Ketika berada di tengah danau Toba tiba-tiba angin
bertiup kencang sekali (alogo lubis) dan menghantam sampannya hingga sampannya
hancur. Dia mencoba sekuat tenaga berenang mencapai daratan dan berhasil.
Setelah berada di tepi danau Toba dia tak sadarkan diri dan pingsan.
Ombak
berdebur laksana irama musik yang menyambut kedatangan TUMONGGO TUA di daerah Lontung,
yaitu di Muara (sekarang persis di tempat pemandian Puteri RAJA SIANTURI). Dia
terbaring hingga sore hari dia ditemukan oleh SI BORU ULI BASA Boru SIANTURI
yang hendak mengambil kain cucian yang dijemur di tepi danau. Setelah melihat
pemuda tampan itu BORU ULI BASA berkata; “Kalau kamu memang manusia, siapakah
namamu? Kalau kamu seorang yang memiliki kesaktian maafkanlah aku tidak
bermaksud menggangumu, tetapi kalau kamu manusia aku mau mendampingimu
seandainya kamu membawaku pergi bersamamu menjadi istrimu” (versi Toba; “Molo
na jolma do ho paboa ise goarmu. Molo na martua-tua do ho unangma muruk ho tu
ahu ala ndang na manggugai ho ahu, alai molo jolma do ho olo do ahu mandongani
ho aut tung olo ho mamboan ahu tu hutam gabe inantam”).
Samar-samar
perkataan itu didengar oleh TUMONGGO TUA yang mulai siuman. Lalu dia mulai
membuka matanya perlahan dan melihat ada seorang gadis cantik jelita di
sebelahnya. Dia langsung mengucek matanya seakan tidak percaya akan apa yang
dilihatnya kemudian dengan suara pelan dia berkata; “Apakah aku bermimpi berada
di sebelah puteri yang cantik. Sekiranya bukan mimpi apa gadis ini mau kalau
aku membawanya menjadi menantu orang tuaku? (versi Toba; “Na marnipi do ahu
nuaeng di lambung ni si boru na uli basa? Aut sura na so marnipi do ahu oloma
nian boanonhu gabe parumaen ni damang dohot dainang”).
Mendengar
ucapan itu BORU ULI BASA langsung memegang tangan TUMONGGO TUA lalu
membangunkannya dan menuntun dia berjalan menuju rumah orang tua BORU ULI BASA
sebab hari sudah sore. Sesampainya di rumah, keluarga BORU ULI BASA bergembira
karena kedatangan tamu seorang pemuda yang tampan dan gagah. Dalam percakapan
dengan orang tua BORU ULI BASA, TUMONGGO TUA memperkenalkan diri dan
menjelaskan bahwa dia adalah cucu RAJA MARSUNDUNG SIMANJUNTAK dan anak RAJA
HUTABULU dari Balige. Dia juga menjelaskan bagaimana dia bisa ada di sana dan
apa maksud dari perjalanan jauhnya itu. Mendengar penjelasan itu BORU ULI BASA
merasa gembira dalam hatinya dia terpikat akan ketampanan TUMONGGO TUA.
Setelah
beberapa hari tinggal di daerah Lontung tejadi pembicaraan antara TUMONGGO TUA
dan BORU ULI BASA yang intinya tentang kesediaan BORU ULI BASA agar menjadi
menantu bagi orang tua TUMONGGO TUA. Jawaban dari BORU ULI BASA sangat jelas,
yaitu dia mau dan bersedia. Akan tetapi sebaliknya apabila TUMONGGO TUA
mendapat pertanyaan yang sama dia tidak menjawab secara jelas bersedia namun
dia menjawab pertanyaan itu dengan perkataan; “Tataplah wajahku dan
perhatikanlah langkahku serta ketahuilah maksud kedatanganku” (versi Toba;
“Berengma bohiku jala parateatehonma pardalanhu huhut antusima sangkap ni
haroroku”).
BORU
ULI BASA memang calon menantu RAJA HUTABULU tetapi bukan untuk menjadi istri
bagi TUMONGGO TUA. Memang RAJA ODONG dan TUMONGGO TUA sangat mirip seperti
saudara kembar di segala-galanya baik dilihat dari rupa, cara berjalan bahkan
juga cara berbicara dan dari suara semuanya sama. Sangat sulit membedakan
keduanya kecuali ini; RAJA ODONG memiliki kelebihan tulang belakang sepanjang
jari telunjuk. Perbedaan mereka ini dirahasiakan TUMONGGO TUA demi harapan dia
bisa direstui menikah setelah abangnya menikah.
Setelah
berjanji bahwa mereka akan kembali bertemu, TUMONGGO TUA pamit dengan keluarga
BORU ULI BASA dan nanti dia akan kembali datang bersama orang tuanya melamar
BORU ULI BASA.
Setibanya
di Balige TUMONGGO TUA menceritakan perjalanannya kepada abang dan orang
tuanya. Kemudian mereka menyusun rencana:
-
TUMONGGO TUA dan orang tuanya segera melamar puteri RAJA SILALA LASIAK yaitu
BORU ULI BASA dan selama mereka di sana sepanjang pembicaraan tidak boleh
memanggil TUMONGGO TUA dengan namanya tetapi dengan nama SIMANJUNTAK.
-
Pesta pernikahan diadakan di rumah pihak pengantin wanita (dialap jual) dan
yang mendampingi BORU ULI BASA dalam acara adat sepenuh itu (ulaon na gok)
adalah TUMONGGO TUA hingga dalam perjalanan di danau Toba sampai Balige. Bila
sudah tiba di dermaga maka TUMONGGO TUA turun dari perahu besar (solu bolon)
dan mengikatkan tali perahu di dermaga. Bersamaan dengan itu RAJA ODONG sudah
siap dan sesuai tanda RAJA ODONG langsung menggantikan posisi adiknya naik ke
perahu untuk menuntun BORU ULI BASA dan seterusnya mendampinginya menjadi suami
bagi BORU ULI BASA.
-
Pakaian yang dikenakan kedua abang beradik ini harus dibuat sama persis.
Setelah mengikatkan tali perahu di dermaga maka TUMONGGO TUA harus menghilang
untuk sementara waktu dan pergi ke daerah Siraja Oloan dan tinggal di sana di
rumah Tulangnya sampai BORU ULI BASA melahirkan anak pertamanya bagi RAJA
ODONG.
Setelah
rencana itu disepakati maka ditentukanlah kapan mereka akan berangkat. Rencana
pun dilaksanakan dan pesta pernikahan meriah di daerah Muara berlangsung mulus
sesuai rencana. Setelah itu mereka bertolak pulang menuju Balige melalui danau
Toba. Sesampainya di dermaga di Balige yaitu tepatnya di Lumban Bul Bul sekira
jam tujuh malam dan keadaan seperti ini dalam bahasa Batak Toba disebut urngum
(jarak pandang mata tidak lagi memungkinkan melihat orang di kejauhan).
Di
dermaga RAJA ODONG telah menunggu kedatangan rombongan keluarganya bersama BORU
ULI BASA. Setelah perahu besar itu tiba dan merapat ke dermaga, turunlah
TUMONGGO TUA untuk mengikatkan tali perahu lalu langsung pergi menghilang di
kegelapan dan kemudian RAJA ODONG langsung naik ke perahu menjemput BORU ULI
BASA serta berjalan berdampingan sampai ke rumah RAJA HUTABULU. Malam itu
diadakan acara penyambutan (pangharoanion). Mulai saat itu RAJA ODONG yang
mendampingi BORU ULI BASA, sedangkan adiknya sudah pergi sesuai rencana ke
rumah Tulangnya.
Begitulah
kisah pernikahan RAJA ODONG dengan BORU ULI BASA Boru SIANTURI sehingga ada
sindiran seperti ini:
“Si
RAJA ODONG papiu piu tali, tali ijuk sian bagot. Anggina manandangi, alai ibana
diharoani jala mandapot”
Pekerjaan
sehari-hari RAJA ODONG adalah memintal tali yang dibuat dari ijuk pohon enau.
Konon pada masa itu, tali buatan RAJA ODONG ini paling baik kualitasnya dan
harga jualnya tinggi di pasar Balige dan Laguboti bahkan sampai ke Porsea dan
Siborong Borong. RAJA ODONG selalu duduk di bangku khusus yang berlubang di tengahnya
dan kemanapun dia pergi bangku itu selalu dibawanya.
Sejak
menikah dengan RAJA ODONG, BORU ULI BASA tidak pernah bekerja di sawah.
Pekerjaannya adalah menggembalakan kambing. Ternak kambingnya gemuk-gemuk dan
jika beranak sering sampai tiga atau empat sehingga keluarga RAJA ODONG
memiliki banyak sekali ternak kambing.
Kemudian
bayi pertama lahir bagi keluarga RAJA ODONG dan anak pertama mereka ini diberi
nama RAJA BOLAK HAMBING atau RAJA PARHAMBING. Demikianlah seterusnya mereka
dikaruniai tujuh orang anak laki-laki:
1.RAJA
BOLAK HAMBING (RAJA PARHAMBING).
2.TUAN
NAHODA RAJA.
3.MAHARIA
RAJA (MANGORONG BAHUT).
4.RAJA
MARLEANG (MARLEANG BOSI).
5.RAJA
MANORHAP (RAJA SITUNGGAL).
6.RAJA
MAEGA bergelar Ompu TOGA OLOAN.
7.DINGKIR
ULUBALANG bergelar PARTAHI OLOAN (DATU MAEGA).
Namun,
sampai sekarang baru keturunan RAJA PARHAMBING dan TUAN NAHODA RAJA saja yang
sudah mengetahui bahwa mereka adalah keturunan dari RAJA ODONG. Sementara lima
keturunan lagi menyebar mulai dari Tapanuli Tengah hingga ke daerah lain dan
dikenal sebagai marga POHAN.
Tentang
TUMONGGO TUA, setelah berita kelahiran anak pertama RAJA ODONG abangnya sampai
kepadanya, betapa bahagianya dia dan paribannya itu. Lalu setelah mendengar
kabar baik itu mereka berdua datang berkunjung ke Balige dan memastikan bahwa
rombongan RAJA HUTABULU melamar Boru SIHOTANG (pariban TUMONGGO TUA) tersebut.
Hikayat
marga SIMANJUNTAK (1 - 18) diedit dan direvisi dari tulisan “Hikayat Ibu Besar
SOBOSIHON Boru SIHOTANG” yang ditulis oleh narator, Pdt.Ev. SAITUN ROBERTH
HASIHOLAN SIMANJUNTAK HUTABULU XV.
Adapun
maksud hikayat SIMANJUNTAK ini diposting adalah supaya banyak pembaca mengenal
dan mengerti seluk beluk kisah marga SIMANJUNTAK.
Bagi
mereka keturunan SIMANJUNTAK supaya memiliki wawasan budaya dan bukan hanya
sekedar menamakan dirinya SIMANJUNTAK PARSURATAN atau SIMANJUNTAK SITOLU SADA
INA, namun di atas segalanya mari kita tidak melupakan sejarah dan belajar dari
sejarah itu.
Jika
ada akar pahit dan kebencian mari kita cabut dan mari kita tingkatkan rasa
persaudaraan dan keakraban di antara kita keluarga SIMANJUNTAK keturunan RAJA
MARSUNDUNG SIMANJUNTAK.
Botima
sian hami।
Horas!
Profil lengkap saya :