Selasa, 29 Oktober 2013


Hikayat Marga SIMANJUNTAK 

“SIMANJUNTAK apa kamu, Parhorbo jolo atau Parhorbo pudi?” Pertanyaan ini sering ditujukan bagi mereka marga SIMANJUNTAK. Pertanyaan ini muncul dari generasi ke generasi, mengapa? Apa sebenarnya maksud dari pertanyaan itu?
Narator yang lahir di Mandailing dan telah merantau pada tahun 1961 ke Tapanuli Utara mulai dari Tarurung sampai ke Balige adalah putera sulung ‘SIMANJUNTAK Natua Tua I’ atau disebut ‘Mangaraja Toba’ di kalangan masyarakat Mandailing.
Sewaktu narator berada di tanah leluhur SIMANJUNTAK, di Balige, narator sering dianggap bukan SIMANJUNTAK karena merantau ke daerah asal SIMANJUNTAK. Hal ini menyebabkan narator ingin menguak asal-usul marga SIMANJUNTAK dan seluk beluk mulanya sebutan Parhorbo jolo dan Parhorbo pudi sekembalinya ke Mandailing pada tahun 1964.
Kemudian narator bertanya kepada ayahnya yang adalah ‘SIMANJUNTAK Na Tua Tua I’ tentang hikayat marga SIMANJUNTAK hingga kemudian menerima tarombo (silsilah) marga. Mengingat pesan dari orangtuanya yang mengatakan; “Ingat, jangan lupakan tetapi ceritakanlah kembali hikayat ini kepada seluruh keturunanku kelak”, maka narator menceritakan hikayat marga SIMANJUNTAK ke dalam bahasa Indonesia.
Bagi pembaca yang bukan keturunan CYRUS JALA SIMANJUNTAK (SIMANJUNTAK Na Tua Tua I) kami keturunannya MEMOHON MAAF apabila ada hal yang menyinggung perasaan pembaca dan atau cerita ini menyimpang karena berbeda versi dengan yang pembaca ketahui.
SOBOSIHON Boru SIHOTANG Istri RAJA MARSUNDUNG
RAJA MARSUNDUNG SIMANJUNTAK adalah anak kedua dari pasangan TUAN SOMANIMBIL dan Boru LIMBONG. Mereka mempunyai tiga anak;
1.SOMBA DEBATA SIAHAAN.
Menikah dengan Boru LUBIS.
2.RAJA MARSUNDUNG SIMANJUNTAK, menikah dengan Boru HASIBUAN lalu kemudian menikah dengan SOBOSIHON Boru SIHOTANG.

3.TUAN MARRUJI HUTAGAOL, menikah dengan Boru PASARIBU
.
RAJA MARSUNDUNG menikah dengan Boru HASIBUAN. Mereka menetap di Hutabulu (sekarang Parlumbanan). Mereka dikaruniai seorang putera bernama RAJA PARSURATAN dan seorang puteri bernama SIPAREME. Kehidupan mereka diberkati dengan banyak sekali ternak kerbau sehingga orang sering menyebut RAJA MARSUNDUNG dengan SIMANJUNTAK Parhorbo.
Maut kemudian memisahkan dan RAJA MARSUNDUNG menjadi duda separuh baya. Suatu saat dia sakit parah bahkan tidak sanggup mengurus dirinya sendiri. Menurut adat Batak Toba yang pantas mengurus dia hanya Boru LUBIS yaitu istri abangnya (akang boru). Kalau Boru PASARIBU yang adalah istri adiknya (anggi boru) pantang saling bicara dengan dia begitu juga menantunya (parumaen) tidak boleh berbicara dengan dia sebab begitu adatnya. Sementara puterinya sendiri, SIPAREME segan mengurusnya sampai ke hal yang sensitif.
Ketika RAJA MARSUNDUNG pulih dari penyakitnya SOMBA DEBATA SIAHAAN menganjurkan agar dia menikah lagi supaya ada yang mengurusnya kelak apabila dia sakit. Hal itu tidak disetujui RAJA PARSURATAN dan TUAN MARRUJI HUTAGAOL namun, karena pengalaman pahit yang telah dialaminya, RAJA MARSUNDUNG setuju untuk menikah lagi.
Pada masa itu ada istilah kalau ingin mencari istri pengganti maka sebaiknya pergi menyeberangi danau Toba (versi Toba: molo mangalului panoroni ba borhatma tu bariba ni tao Toba). SOMBA DEBATA SIAHAAN dan RAJA MARSUNDUNG pun berangkat ke daerah Siraja Oloan. Di sana ada seorang lelaki yang agak aneh rupa tubuhnya. Bentuk kepalanya besar dan dia dinamai RAJA SIGODANG ULU SIHOTANG. Keanehan ini juga tampak pada anak-anaknya sehingga terkadang mereka sering dikucilkan banyak orang sampai-sampai walaupun puterinya sendiri SOBOSIHON sudah berumur tapi belum ada laki-laki yang mau melamarnya hingga RAJA MARSUNDUNG melamarnya.
Kedatangan RAJA MARSUNDUNG melamar SOBOSIHON sangat menggembirakan hati RAJA SIGODANG ULU walaupun yang melamar puterinya adalah seorang duda yang sudah memiliki anak. Namun itu bukan masalah baginya. Pernikahan secara adat sepenuh (adat na gok) dilakukan. Wali pengantin lelaki adalah SOMBA DEBATA SIAHAAN. SOBOSIHON pun menjadi istri RAJA MARSUNDUNG. Mereka bermukim di Parlumbanan (saat narator berkunjung ke daerah Parlumbanan daerah ini merupakan lokasi persawahan).
Lahirnya Anak Pertama Bernama RAJA MARDAUP
Setelah tiba waktunya bagi SOBOSIHON untuk melahirkan, beberapa hari sebelumnya ayahnya telah mengetahui tentang keadaannya itu. Namun, perasaan sang calon ibu ini gelisah setelah bermimpi; ketika SOBOSIHON akan mandi di Aek Na Bolon, setelah dia membuka bajunya tiba-tiba petir menyambar buah dadanya sebelah. Mimpi ini juga diberitahukan kepada RAJA SIGODANG ULU. Setelah dia mendengar mimpi puterinya itu dia menyuruh menantu perempuannya (parumaen) berangkat ke Parlumbanan. Padahal menantunya ini baru lima hari selesai melahirkan bayi perempuan namun, karena taat kepada mertuanya dia tetap bersedia pergi disertai tugas dan pesan khusus RAJA SIGODANG ULU. Adapun tugas dan pesan itu;
- Memberitahu SOBOSIHON bahwa akan ada bahaya yang mengancam setelah persalinan.
- Apabila bayi yang lahir laki-laki maka bayi itu harus ditukar dengan bayi perempuan menantunya ini dan bayi laki-laki itu harus dipangku dan disusui oleh menantu RAJA SIGODANG ULU sampai bahaya berlalu.
- Kelak apabila kedua bayi itu sudah dewasa maka mereka sebagai pariban telah dipertunangkan sejak lahir (dipaorohon).
Sesampainya di Parlumbanan menantu RAJA SIGODANG ULU atau yang disebut ‘Nantulang na Burju’ oleh Parhorbo pudi ini, mendapati SOBOSIHON sedang dibantu dukun beranak (sibaso) untuk bersalin. Lalu kemudian lahirlah bayi laki-laki dan setelah dimandikan sang bayi langsung ditukarkan sesuai pesan tadi.
Diadakanlah acara makan bersama (pangharoanion) syukuran kelahiran bayi itu. Seluruh penduduk kampung diundang. Mendengar kabar bahwa adik tirinya adalah laki-laki, RAJA PARSURATAN menjadi benci dan ingin membunuh adiknya itu sebab menurutnya kelak akan ada pewaris harta ayahnya selain dia.
RAJA PARSURATAN pun datang ke acara itu dan dia membawa pisau penyadap pohon enau di dalam sarung yang terselip di pinggangnya. Kehadirannya membuat semua orang terharu sebab sebelumnya dia memusihi ibu tirinya, namun di saat kegembiraan dirasakan dan dirayakan dia turut hadir di sana. itulah anggapan orang kebanyakan. Padahal RAJA PARSURATAN hendak memanfaatkan keadaan ini untuk membunuh adiknya. Lalu dia meminta supaya dia memangku adiknya yang baru lahir itu. Dan bayi yang telah bertukar tadi pun dipangkunya sampai bayi itu membasahi popoknya. RAJA PARSURATAN ingin mengganti kain pembungkus adiknya.
Inilah kesempatan bagi RAJA PARSURATAN. Ketika mengganti kain popok adiknya dia berencana menyelipkan pisau ketika kain itu dipakaikan. Dia pun meminta kain pengganti pada SOBOSIHON. Namun SOBOSIHON takut kalau-kalau RAJA PARSURATAN tahu bahwa bayi yang dipangkunya bukanlah adiknya. Dia mengatakan pada RAJA PARSURATAN supaya biarlah ibu yang menggantikan. Akan tetapi karena RAJA PARSURATAN tetap berkeras untuk mengganti kain adiknya maka orang banyak pun menyuruh SOBOSIHON agar membiarkan hal itu terlaksana.
Saat membuka kain basah bayi yang dipangkunya RAJA PARSURATAN terperanjat karena bayi yang dilihatnya bukanlah bayi laki-laki. Merasa niatnya sudah terbaca maka geramlah hatinya dan dia berdiri lalu melangkahi bayi itu dan berjalan menghampiri SOBOSIHON dan berkata; “Orang mengatakan bahwa yang lahir adalah adikku laki-laki tetapi engkau telah menipuku dengan memberi anak perempuan orang lain untuk aku pangku, inilah bagianmu” RAJA PARSURATAN menghujamkan pisau tepat di dada dan memotong buah dada SOBOSIHON lalu setelah itu dia berlari meninggalkan keadaan yang kacau.
RAJA PARSURATAN tidak berhasil menemukan dan membunuh adiknya tetapi buah dada SOBOSIHON ibu tirinya telah menjadi tumbalnya (daupna) maka bayi laki-laki itu diberi nama RAJA MARDAUP. Demikianlah RAJA MARDAUP diselamatkan ‘Nantulang na Burju’ yang rela menyeberangi danau Toba demi menyampaikan pesan RAJA SIGODANG ULU. Itulah sebabnya mengapa sampai sekarang semua keturunan SIMANJUNTAK dari SOBOSIHON sangat menghormati keturunan SIGODANG ULU yaitu marga SIHOTANG.
Lahirnya Anak Kedua yaitu Puteri Pertama Bernama SI BORU HAGOHAN NAINDO
SOBOSIHON melahirkan bayi perempuan. Kabar ini terdengar ke seluruh penduduk daerah Sibagot Ni Pohan. Namun hal ini tidak meresahkan hati RAJA PARSURATAN sebab dalam tradisi Batak anak perempuan tidak berhak dalam perolehan warisan. Jadi kelahiran adik tiri yang perempuan ini turut menggembirakan RAJA PARSURATAN. Sang bayi diberi nama SI BORU HAGOHAN NAINDO.
Lahirnya Anak Ketiga yaitu Putera Kedua Bernama RAJA SITOMBUK
Selang beberapa tahun kemudian SOBOSIHON melahirkan. Begini ceritanya sehingga sang bayi diberi nama RAJA SITOMBUK.
Tak henti-hentinya RAJA PARSURATAN mengamati kehidupan ibu tirinya yang dianggap bisa mengurangi jatah harta warisannya kelak. Dia bertanya kepada orang pintar apa jenis kelamin bayi yang akan dilahirkan ibunya. Setelah mengetahui bahwa bayi laki-laki jawabannya, dia berusaha merancang kecelakaan agar bayi itu tidak bernyawa saat dilahirkan.
Saat ayah dan ibunya tidak berada di rumah, dia bekerja keras untuk memotong kayu penghalang papan yang ada tepat di sekeliling tiang tengah rumah (tiang siraraisan) dimana setiap ibu rumah tangga yang hendak bersalin akan menyandarkan badannya di tiang itu dan kain pegangan yang dipakai untuk bersalin juga digantungkan di situ.
Adapun maksud RAJA PARSURATAN supaya ketika ibunya bersalin kayu penghalang papan itu rubuh ketika diduduki setelah itu sang bayi akan celaka terhimpit. Apa yang terjadi? Ternyata kayu itu patah sebelum sang bayi lahir dan tembuslah lantai rumah itu. Karena kaget setelah tergeletak di kolong rumah, seketika itu melahirkanlah SOBOSIHON dan bayinya selamat. Bayi itu diberi nama RAJA SITOMBUK. Tombus dalam bahasa Indonesia ‘tembus’. Papan lantai rumah telah tembus dan kejadian itu pulalah yang membuat bayi dilahirkan selamat walau tanpa bantuan dukun beranak.
Lahirnya Anak Keempat yaitu Puteri Kedua Bernama SI BORU NAOMPON
Dengan bantuan dukun beranak lahirlah bayi perempuan yang kedua bagi SOBOSIHON lalu oleh RAJA MARSUNDUNG bayi itu diberi nama SI BORU NAOMPON. Sebelum proses persalinan RAJA PARSURATAN telah mengetahui dari orang pintar bahwa adiknya adalah perempuan. Hal ini tidak menjadi masalah baginya walau ketamakan akan harta warisan masih memenuhi hati dan pikirannya saat itu.
Lahirnya Anak Kelima yaitu Putera Ketiga Bernama RAJA HUTABULU
Kali ini RAJA PARSURATAN pergi lagi bertanya kepada orang pintar perihal jenis kelamin adik tirinya yang akan lahir. Jawaban dan pemberitahuan yang diterimanya bahwa adiknya adalah laki-laki. Dia teringat akan permintaan orang Batak perihal rumah; “Jabu sibaganding tua ima hatubuan ni anak dohot boru si boan tua”. Artinya “Rumah tempat berbagai macam tuah adalah tempat lahirnya putera dan puteri pembawa tuah”.
Kali ini RAJA PARSURATAN ingin memusnahkan rumah tempat tinggal ayahnya dan ibu tirinya. Dia sendiri telah mempunyai rumah setelah menikah dan pisah rumah dari orang tuanya (manjae). Dia hanya mempunyai seorang anak laki-laki dan dia merasa posisinya kelak terancam jika semakin banyak anak laki-laki yang dilahirkan ibu tirinya. Inilah yang membuat dirinya selalu ingin berbuat sesuatu untuk melenyapkan setiap bayi laki-laki dari ibu tirinya.
Waktunya tiba dan SOBOSIHON akan melahirkan bayinya. Para ibu bersama dukun beranak telah berkumpul dan memasuki rumah RAJA MARSUNDUNG. Dari kejauhan RAJA PARSURATAN mengamat-amati mereka. Setelah melihat mereka telah masuk ke rumah maka kemudian RAJA PARSURATAN membawa sulutan api. Dia membakar atap rumah dari bagian dapur. Api menyala dan semua ornag berhamburan keluar rumah termasuk SOBOSIHON. Dia panik sambil berteriak api.. api.. api.. api.. Dia pun berpegangan pada batang bambu yang berada di pinggir pekarangan rumahnya.
Tidak lama kemudian, orang-orang berdatangan ke sana dan berusaha bergotong-royong memadamkan api. Perhatian orang teruju pada rumah yang mulai terbakar dan pada saat itu pula di bawah pohon bambu lahirlah anak kelima dari SOBOSIHON yang kemudian diberi nama RAJA HUTABULU karena bayi itu dilahirkan di bawah pohon bambu di kampungnya.
Walaupun selalu mendapat rintangan namun SOBOSIHON tetap tabah dalam setiap proses persalinannya karena RAJA MARSUNDUNG dan keluarga SOMBA DEBATA SIAHAAN terutama Boru LUBIS sangat memperhatikan dan mengasihinya.
RAJA MARSUNDUNG Meninggal di Usia Lanjut
Usia RAJA MARSUNDUNG kira-kira telah lebih delapan puluh tahun ketika dia meninggal. Kepergian suaminya sangat membuat hati SOBOSIHON sedih sementara anak bungsu mereka masih menyusui dan keempat anaknya yang lain masih belum cukup dewasa.
Bagi suku Batak Toba anak tertua adalah pengganti ayah bagi adik-adiknya. Yang paling kehilangan sosok ayah hanya anak tertua. RAJA PARSURATAN menggantikan kedudukan ayahnya dalam segala hal penting dia menjadi kepala keluarga. Situasi ini dimanfaatkan RAJA PARSURATAN untuk menguasai semua aspek kehidupan ibu tiri dan adik-adiknya sehari-hari. Dia selalu bersikap diktator terhadap adiknya terutama yang laki-laki. Namun SOBOSIHON selalu mengingatkan anak-anaknya agar mereka selalu menghormati abangnya sebagai pengganti ayah.
SIPAREME Puteri Sulung RAJA MARSUNDUNG Meninggal
Setelah beberapa tahun ayahnya meninggal RAJA PARSURATAN memanfaatkan tenaga keenam orang adiknya dengan anak tunggal serta istrinya untuk mengusahakan semua kebun dan sawah peninggalan mendiang ayahnya dan dikelola seefektif mungkin. Perekonomian RAJA PARSURATAN pun meningkat. Dia kemudian membangun rumah ukir (ruma gorga).
Setelah bangunan induk selesai maka proses berikutnya dalam pembangunan rumah ukir tersebut adalah pembuatan ukiran. Untuk mengukir relif rumah pada masa itu lazim digunakan darah manusia sebagai campuran pewarna relif. Hal tersebut agar rumah itu mempunyai semangat atau ada keangkerannya. Mengingat RAJA PARSURATAN bukanlah seorang yang kuat dalam berperang maka tidak mungkin baginya mendapatkan darah manusia dengan berperang melawan negeri lain.
Timbul niat jahat RAJA PARSURATAN terhadap adik perempuan tirinya. Pada suatu sore dia meliahat kedua adik perempuannya tampak akrab sebab memang SIPAREME sudah gadis dan HAGOHAN NAINDO mulai remaja. RAJA PARSURATAN ingin membunuh adik tirinya untuk diambil darahnya sebagai campuran pewarna rumah ukirnya. Kedua adik perempuannnya ini sering sama-sama tidur dengan SOBOSIHON ibu mereka. Hampir setiap malam keduanya menganyam tikar (mangaletek) dan bila sudah larut mereka tidur tanpa menyalakan lampu. Sedangkan untuk menghindari gigitan nyamuk mereka menutup badannya dengan tikar (marbulusan). kebiasaan tidur marbulusan ini sampai sekarang masih dapat dijumpai di beberapa daerah di Tapanuli Utara. Demikianlah setiap malam cara kedua gadis ini menghabiskan waktu.
Tentang rencana jahat RAJA PARSURATAN, untuk membedakan yang mana yang harus dibunuh maka kepada SIPAREME diberikan sebuah gelang yang terbuat dari gading. Konon gelang itu merupakan pusaka pemberian dari mendiang Boru HASIBUAN, ibunya RAJA PARSURATAN. Lalu SIPAREME pun memakai gelang itu. Melihat gelang yang sangat putih dan menyala dalam gelap, HAGOHAN NAINDO tertarik akan gelang itu. Dia meminjam dan kemudian memakainya. Seperti biasanya mereka menganyam tikar setelah malam tiba mereka tidur marbulusan dan gelang tadi masih di tangan HAGOHAN NAINDO.
Malam itu menjelang subuh datanglah pembunuh bayaran ke rumah RAJA PARSURATAN dengan membawa pisau. RAJA PARSURATAN berpesan pada pembunuh itu bahwa sekarang ada dua gadis yang tidur di rumah ayahnya dan gadis yang tidak memakai gelanglah yang harus dibunuh. Pembunuh itupun melaksanakan tugasnya kemudian SIPAREME dibunuh lalu darahnya ditampung dan diberikan kepada RAJA PARSURATAN. Sementara mayat SIPAREME dibuang ke lembah yang tidak dapat dituruni yaitu yang sekarang terletak di lembah Sipintu Pintu (perbatasan antara Balige dengan Siborong Borong). Matahahari pun terbit dan air mata tangisan HAGOHAN NAINDO menetes karena kakaknya telah hilang.
Demikianlah rencana jahat RAJA PARSURATAN dimana dia hendak membunuh HAGOHAN NAINDO tetapi yang terbunuh adalah SIPAREME yaitu adik kandungnya satu-satunya.
SOBOSIHON Boru SIHOTANG Meninggal dengan Pesan
Melihat tindak-tanduk anak tirinya SOBOSIHON selalu bersusah hati, apalagi setelah SIPAREME diketahui dibunuh dan darahnya dijadikan campuran pewarna ukiran rumah RAJA PARSURATAN. Hal ini membuat SOBOSIHON jatuh sakit hingga penyakitnya parah. Saat penyakitnya semakin memburuk, dia dikelilingi kelima anaknya, sedang RAJA PARSURATAN seperti biasanya pergi ke sawah. Saat itu SOBOSIHON berpesan;
- Ingat dan jangan lupakan apa yang telah dilakukan oleh abangmu RAJA PARSURATAN akan tetapi, jangan balaskan perbuatan jahatnya karena hanya MULA JADI NA BOLON (Tuhan) sajalah yang akan membalaskannya.
- RAJA PARSURATAN itu adalah abangmu sebagai ganti ayah bagimu, dimana dia duduk janganlah kamu menghampiri dan jika kamu sedang duduk di suatu tempat kalau dia datang tinggalkanlah dia, karena dia adalah ganti ayah bagimu yang harus kamu hormati.
- Jangan kamu menyusahkan hatinya walaupun dia menyusahkan kamu, bila kamu sedang menyalakan api di dapur rumahmu atau dimana saja lalu asapnya terhembus angin ke rumahnya atau ke arah di mana abangmu berada padamkanlah apimu itu supaya dia tidak mengeluarkan air mata karena asap apimu walaupun kamu harus terlambat menyiapkan masakanmu.
- Jangan bertengkar dengan abangmu, sebab itu apabila tanamanmu ada yang condong tumbuh mengarah ke pekarangan rumahnya seumpama tanaman pisangmu sedang tumbuh dan berjantung maka lebih baik tebang saja itu dari pada setelah buahnya ada lalu diambil oleh anaknya dan kamu tidak bisa menahan emosimu dan bertengkar.
Setelah menyampaikan pesannya SOBOSIHON menghembuskan nafas terkahir. Pesan inilah yang kemudian sampai saat ini terus mewarnai pola hidup dari keturunan RAJA MARDAUP, RAJA SITOMBUK dan RAJA HUTABULU dan pesan-pesan tersebut sangat dihargai dan dituruti oleh seluruh keturunan SIMANJUNTAK SITOLU SADA INA.
SI BORU HAGOHAN NAINDO Dibakar dengan Jerami
Setelah beberapa tahun SOBOSIHON meninggal, keluarga SIMANJUNTAK tiga bersaudara satu ibu ini dilanda kesedihan karena SI BORU HAGOHAN NAINDO gadis yang rupawan ini meninggal dunia dengan cara yang menyedihkan.
Suatu hari pada musim panen RAJA PARSURATAN telah menyabit sawahnya dan padinya telah dikumpulkan di sawah hanya tinggal menunggu dibersihkan dari batangnya saja. Cara membersihkannya dengan menginjak-injak batang padi yang ada bagian bulirnya (mardege). Untuk mardege biasanya dilakukan secara bergotong-royong bersama para tetangga di waktu subuh supaya ketika matahari terbit dan panas menyengat padi yang sudah dilepas dari jeraminya tinggal dijemur dan pada sore hari padi tinggal dibersihkan dari sekam dengan bantuan angin (mamurpur).
Pada pagi yang naas itu RAJA PARSURATAN beserta beberapa orang berangkat ke sawah untuk mardege. Sebelum berangkat dia berpesan pada SI BORU HAGOHAN NAINDO agar menyiapkan makan siang dan membawanya ke sawah. Makan pagi telah dibawa istri RAJA PARSURATAN. Sebenarnya ini adalah rencana jahatnya terhadap adiknya. sebab sesungguhnya bekal makan pagi tidak jadi dibawa ke sawah.
Menjelang siang semua orang yang bergotong-royong bekerja di sawah sudah bersungut-sungut karena rasa lapar dan mereka berkata; “DImana adikmu yang akan membawakan makanan pagi ini, kenapa dia belum datang juga?”. Sebelumnya RAJA PARSURATAN mengatakan pada mereka bahwa dia sudah berpesan pada adiknya agar makan pagi dipersiapkan, namun sebenarnya tidak demikian.
Sekira pukul sebelas atau menjelang teriknya panas matahari (mareak hos ni ari) datanglah SI BORU HAGOHAN NAINDO dengan membawa makanan tetapi dia disambut dengan caci maku oleh semua orang. Lalu RAJA PARSURATAN mengambil hidangan yang dijunjung di atas kepala SI BORU HAGOHAN NAINDO dan langsung mencampakkan air panas ke wajahnya. SI BORU HAGOHAN NAINDO meraung-raung kesakitan wajahnya melepuh. Saat itu pula RAJA PARSURATAN mengambil jerami dan menutupi badan SI BORU HAGOHAN NAINDO lalu menyulut jerami itu dengan api sehingga SI BORU HAGOHAN NAINDO terbakar hidup-hidup.
Demikianlah SI BORU HAGOHAN NAINDO mati dalam rasa sakitnya yang tak terperikan. Setelah tak bernyawa dia ditanam tanpa sepengetahuan saudara-saudaranya. Namun, bagaimanapun setiap perbuatan busuk akan tercium juga baunya. Salah seorang yang mengetahui pembunuhan itu berpihak kepada keturunan SOBOSIHON dan menceritakannya pada mereka. Hal ini sering membuat puteri (boru) SIMANJUNTAK yang mengetahui kisah ini merasa sakit hati terhadap Parhorbo jolo hingga kini.
RAJA MARDAUP Menikah dengan Tunangannya (Oroan)
Kematian SI BORU HAGOHAN NAINDO membuat SI BORU NAOMPON trauma tinggal di Balige. Dia sering menangis mengingat peristiwa maut yang dialami kedua kakaknya. Dia meminta ketiga saudaranya agar dia diantar ke daerah Siraja Oloan ke rumah RAJA SIGODANG ULU SIHOTANG. Hal ini membuat ketiga saudaranya terharu.
Muncul persoalan. Siapa yang akan menyiapkan makanan dan mengurus rumah apabila SI BORU NAOMPON pergi? RAJA HUTABULU berkata pada abangnya; “Bukankah dulu abang RAJA MARDAUP telah ditunangkan dengan paribannya sejak lahir? Sekarang abang ambil saja dia menjadi pendamping abang secepatnya agar ada yang mengurus rumah dan memasak makanan untuk kita”.
Perkataan ini membuka jalan pikiran ketiga saudaranya dan sekaligus membuka jalan bagi SI BORU NAOMPON untuk dapat tinggal di kampung Ompugnya. Lalu mereka berangkat ke sana. Setelah SI BORU NAOMPON diantar kemudian ketiga bersaudara ini kembali ke Balige bersama pariban yang telah menjadi istri RAJA MARDAUP, yaitu Boru SIHOTANG cucu SI GODANG ULU yang kemudian melahirkan tiga orang anak laki-laki:
1.NAMORA TANO, menikah dengan Boru SIHOTANG.
2.NAMORA SENDE, menikah dengan Boru SIHOTANG.
3.TUAN SIBADOGIL, menikah dengan Boru SIAGIAN PARDOSI.
Demikianlah kisah pertunangan antara RAJA MARDAUP dengan paribannya yang sudah dipertunangkan dari lahir dan berakhir dengan pernikahan setelah mereka dewasa.
RAJA SITOMBUK Menikah dengan Boru ARUAN dari Laguboti
Suatu saat terdengar kabar bahwa di Laguboti ada seorang gadis cantik puteri dari RAJA ARUAN dan cucu dari PANGULU PONGGOK. Gadis ini sangat pintar menyanyi dan merdu suaranya. Mendengar kabar itu RAJA SITOMBUK yang mahir bermain seruling bambu dan menguasai hampir semua lagu yang populer pada masa itu, datang bertandang ke Laguboti.
Setibanya di sana dia kemudian memainkan serulingnya. tanpa diketuk pintu rumah para gadis di Laguboti telah terbuka untuknya bahkan kadang-kadang mereka sengaja datang untuk melihat permainan suling itu dari dekat. Pilihan si pemuda ganteng ini jatuh pada gadis tercantik yang mahir bernyanyi. Setiap RAJA SITOMBUK bertandang ke Laguboti, kehadirannya selalu menjadi hiburan bagi muda-mudi setempat.
RAJA SITOMBUK menyampaikan maksudnya ingin mempersunting Boru ARUAN pada amang tuanya yaitu SOMBA DEBATA SIAHAAN dan juga RAJA MARDAUP abangnya. Sepeninggal mendiang SOBOSIHON, RAJA PARSURATAN sudah tidak perduli lagi terhadap keturunan SOBOSIHON.
Akhirnya pesta adat sepenuh pun (adat na gok) diadakan untuk memperistri Boru ARUAN. Dari pernikahan ini RAJA SITOMBUK memperoleh seorang anak laki-laki bernama RAJA MANGAMBIT TUA.
SI BORU NAOMPON Menikah dengan Marga SIRAIT dari Marom
Puteri dari RAJA MARSUNDUNG yang hidup hanya SI BORU NAOMPON. Dia tinggal bersama ompungnya di Siraja Oloan. Suatu kali pada musim panen, RAJA MARDAUP dan RAJA SITOMBUK sepakat untuk mengutus RAJA HUTABULU berangkat ke rumah ompung mereka menjemput SI BORU NAOMPON menggunakan sampan kecil (solu pardengke).
Kemudian RAJA HUTABULU tiba di rumah ompungnya dengan selamat. Dia memberitahukan bahwa maksud dan tujuannya adalah untuk menjemput SI BORU NAOMPON. Lalu SI BORU NAOMPON diberangkatkan oleh Tulang dan ompungnya dengan acara makan khusus disertai doa agar kiranya SI BORU NAOMPON segera menemukan jodoh (sirongkap ni tondi). Setelah itu berangkatlah mereka berdua menuju Balige.
Dalam perjalanan menggunakan sampan di danau Toba yang luas angin berhembus kencang. RAJA HUTABULU berusaha mengayuh dayungnya agar sampan bergerak menuju arah yang dikehendaki. Tiba-tiba dayungnya patah dan hanyut terbawa ombak. Dalam keadaan terombang-ambing sampan itu mengikuti arah angin dan untuk menenangkan keadaan SI BORU NAOMPON bernyanyi; “Ue.. luahon ahu da parau, ulushon ahu da alogo manang tudiape taho, asalma tu topi tao”.
Mendengar ada suara wanita bernyanyi, seorang pemuda yang sedang berada di tengah danau Toba dekat bagian pantai Marom langsung mengayuh sampannya menuju sumber suara itu. Setelah mendekatkan sampannya dia melihat ada dua orang dalam sebuah sampan dan mereka tidak mempunyai dayung. Setelah mengetahui bahwa keduanya bersaudara maka pemuda itu (NA MORA JOBI SIRAIT) membawa mereka ke Marom dan beristirahat satu malam di sana.
Keesokan harinya dengan dayung baru serta dipandu NA MORA JOBI SIRAIT, mereka bertolak dari Marom menuju Balige. Inilah pertemuan antara SI BORU NAOMPON dengan NA MORA JOBI SIRAIT dan dengan senang NA MORA JOBI SIRAIT mengantar sampai ke Balige. Beberapa hari kemudian mereka berdua sepakat untuk menikah. NA MORA JOBI SIRAIT pun pulang dan memberitahukan hal itu pada orangtuanya yang sudah melihat kecantikan SI BORU NAOMPON. Dengan senang mereka setuju dan mendukung permintaan puteranya lalu berangkat melamar SI BORU NAOMPON.
Kenapa Ada Parhorbo jolo dan Parhobo pudi?
RAJA PARSURATAN sudah semakin tua dan jika hendak pergi kemana-mana dia enggan pergi sendirian. Kadang-kadang dia membawa anak tunggalnya kalau bepergian tetapi sering juga bersama adik tirinya yang masih lajang yaitu RAJA HUTABULU. Suatu saat RAJA PARSURATAN pergi dan RAJA HUTABULU ikut serta sebagai pembawa kantongan (sitiop hajutna). Mereka berjalan mengikuti jalan setapak naik turun lembah. Ketika mereka berjalan di dataran tinggi Silangit tiba-tiba RAJA HUTABULU melihat segumpal benda jatuh dari langit dan menggunakan ulos hande handenya kemudian benda itu diraih dan dibungkusnya.
RAJA PARSURATAN melihat adiknya berlari dan berkata; “Adikku, benda apa yang tadi kamu tangkap?”. Sahut adiknya; “Abang yang kuhormati, aku belum tahu apa yang kutangkap dan bungkus ini, tetapi aku akan membukanya dan memberitahukan apa isi ulosku ini pada abang apabila kita sudah kembali ke kampung kita, asalkan abang berjanji akan membagikan harta peninggalan mendiang ayah kita”. Tanpa pikir panjang RAJA PARSURATAN pun setuju. Sebenanrnya RAJA MARDAUP dan RAJA SITOMBUK tidak pernah berani meminta bagian harta warisan pada abang mereka.
Setelah kembali ke kampung RAJA HUTABULU menceritakan pada kedua abangnya tentang janji abangnya yang akan membagi harta warisan.
Tibalah waktunya, tua-tua kampung diundang datang berkumpul menyaksikan pertemuan itu. RAJA HUTABULU menyatakan maksudnya pada kumpulan tua-tua itu (ria raja). “Karena ada sesuatu yang jatuh dari langit dan kutampung lalu kubungkus dengan ulos hande handeku dan ini terjadi dalam perjalanan aku bersama abang yang kuhormati sewaktu di Silangit. Abang kami ini ingin mengetahui apa isi dari bungkusan ini yang aku sendiri juga belum tahu. Namun abang yang kuhormati ini telah berjanji akan memberikan bagian warisan peninggalan mendiang ayah kami apabila aku menunjukkan dan membagi benda yang akan kita lihat ini”. Perkataan tersebut dibenarkan oleh RAJA PARSURATAN dan disaksikan oleh semua orang yang berkumpul di halaman rumah RAJA MARSUNDUNG.
Maka dihadapan para tua-tua RAJA HUTABULU membuka bungkusan hande handenya itu dan tampaklah abu bekas sarang burung yang terbakar di dalamnya. Setelah RAJA PARSURATAN melihatnya dia mengatakan bahwa bukannya dia tidak mau membagi warisan dan kemudian dia berkata; “Tunggu kalianlah dapat dulu dua bulan”. Lalu kumpulan pun bubar dengan kesimpulan bahwa setelah dapat waktunya dua bulan baru akan ada pembagian warisan.
Dua bulan kemudian RAJA HUTABULU mengumpulkan tua-tua kampung untuk melakukan ria raja. Di hadapan ria raja RAJA PARSURATAN berkata pada adiknya; “Mana bulan yang sudah kamu dapat, sudahkah ada dua?”. Semua yang mendengarnya heran ternyata maksud dari ucapan RAJA PARSURATAN pada ria raja sebelumnya bukanlah mengenai tenggang waktu dua bulan, melainkan tentang mendapatkan dua buah bulan. Maka ria raja berakhir dengan kekecewaan pihak tiga bersaudara seibu.
Dua minggu kemudian malam harinya ketika posisi bulan persis berada di atas langit, pergilah RAJA HUTABULU ke sumur tempat dimana dulu mendiang ayahnya biasa mandi. Dia menatap ke permukaan air dalam sumur dan melihat bayangan bulan di situ. Segera kemudian dia bergegas menjumpai kedua abangnya dan mengatakan bahwa dia baru saja menemukan dua buah bulan.
Dengan rasa was-was kedua abangnya dan RAJA HUTABULU kembali mengundang tua-tua kampung. Setelah semuanya hadir termasuk RAJA PARSURATAN lalu RAJA HUTABULU berdiri dan berkata; “Amang raja na liat na lalo, lumobi di ho angkang raja na malo, didokhon ho dung dapot dua bulan asa lehononmu parbagianan sian na pinungka ni amanta na hinan. On pe saonari ba nunga dapothu be alus ni hatami raja bolon. Betama hita tu parmualan paridian ni amanta an”. Artinya; “Bapak-bapak sekalian kumpulan yang terhormat, amat terlebih abang yang kuhormati, kamu berkata setelah dapat dua buah bulan barulah kamu memberikan warisan dari mendiang ayah kita dan kini aku sudah menemukannya. Marilah kita bersama-sama ke sumur tempat mandi ayah.
Seluruh yang hadir di situ berjalan menuju sumur. Setibanya di sana RAJA HUTABULU menunjuk ke permukaan air di dalam sumur dan terlihat ada bayangan bulan di situ, kemudian dia menunjuk ke atas dimana juga terlihat ada bulan. Akhirnya RAJA PARSURATAN tidak dapat lagi mengelak dan dilakukanlah pembagian warisan setelah mereka kembali ke halaman rumah.
Lalu kemudian RAJA PARSURATAN berkata; “Sekarang di hadapan tua-tua aku akan membagi warisan peninggalan orang tua kita”. Beginilah pembagiannya:
1. Mengenai sawah, karena aku adalah anak dari istri pertama ayah, maka tanah persawahan yang pertama dialiri air adalah milikku dan karena ibu kita dua orang, maka tanah akan dibagi dua luasnya.
2. Mengenai semua kerbau milik mendiang ayah kita, karena aku adalah anak dari istri pertama ayah, maka paha depan (parjolo) setiap kerbau merupakan bagianku, sedangkan paha belakang adalah bagian kamu bertiga anak istri ayah yang kemudian (parpudi).
Pembagian warisan itu ditetapkan di hadapan tua-tua kampung dan tidak ada seorang pun yang berbicara menentang pembagian itu.
Narator sendiri yang adalah keturunan SIMANJUNTAK SITOLU SADA INA sudah melihat langsung lokasi sawah warisan dari RAJA MARSUNDUNG yang dibagi dua itu. Kenyataannya setelah diamati; sawah di kampung Parsuratan terletak di hulu Aek Bolon yang mengairi persawahan di daerah itu, sedangkan sawah di kampung HUTABULU berada di hilir. Sekiranya musim kemarau melanda, maka kampung Parsuratanlah yang terlebih dahulu menikmati air setelah air dipakai baru kemudian dialirkan ke hilir.
Mengenai pembagian warisan ternak, di kalangan masyarakat Batak Toba bila hendak membagi ternak berkaki empat, maka ternak itu dibagi dua dan selalu dibagi menjadi sebelah-sebelah (sambariba). Namun RAJA PARSURATAN membagi dengan cara lembu dibagi berdasarkan paha depan (parjolo) dan paha belakang (parpudi). Hal ini sangat aneh dan dibalik keanehan itu sebenarnya RAJA PARSURATAN telah mengantisipasi ke depan supaya hanya dia yang selalu memanfaatkan tenaga kerbau untuk membajak sawah dan menarik pedati makanya dia membagi dengan cara yang demikian. Jadi karna hanya satu-satunya peristiwa pembagian kerbau yang demikian anehnya, maka orang kebanyakan sejak saat itu menyindir dengan sebutan ‘Parhorbo jolo’ terhadap RAJA PARSURATAN dan keturunannya. Sedangkan kepada ketiga bersaudara seibu orang menyebut mereka dengan ‘Parhorbo pudi’.
Bagi para pembaca yang bermarga atau Boru SIMANJUNTAK narator mengajak dan berpesan bila kita ditanya; “SIMANJUNTAK mana kamu?” sebaiknya kita jawab “SIMANJUNTAK PARSURATAN” atau “SIMANJUNTAK SITOLU SADA INA” sebab istilah ‘Parhorbo jolo’ dan ‘Parhorbo pudi’ merupakan sindiran masyarakat Batak Toba tempo dulu terhadap pembagian warisan ternak kerbau kita. Sindiran itu berkembang dan kini dianggap sebagai suatu istilah padahal kita keturunan SIMANJUNTAK RAJA MARSUNDUNG sudah tidak ada lagi kerbau kita, bukan?
RAJA HUTABULU Menikah dengan Boru SIHOTANG (Boru ni Tulang)
Telah diceritakan bahwa RAJA HUTABULU sejak remaja sampai menjadi seorang pemuda sering berkunjung ke daerah Siraja Oloan ke rumah Ompungnya (SIGODANG ULU SIHOTANG) baik itu karna mengantar jemput itonya (SI BORU NAOMPON) maupun hanya sekedar bertandang ke sana.
Suatu ketika dia melihat seorang Boru Tulang yang sangat cantik dan boleh dikatakan gadis tercantik di seluruh daerah Siraja Oloan. Kemudian karena RAJA HUTABULU memang seorang pemuda pintar (simak kisah bagaimana ketika dia menghadapi abang tirinya, dia selalu tampil piawai dalam pemikiran dan pembicaraan) dan hal ini terdengar sampai ke daerah Siraja Oloan. Boru Tulangnya tadi sudah pernah berkunjung ke Balige, yaitu ke tempat amang borunya (ayahnya RAJA HUTABULU). Jadi merupakan pilihan yang tepat jika RAJA HUTABULU mempersunting paribannya itu menjadi istrinya.
Lahirnya Putera Pertama RAJA HUTABULU Bernama RAJA ODONG
Suatu saat sewaktu suami istri RAJA HUTABULU dan Boru SIHOTANG duduk-duduk di depan rumahnya, melintaslah seorang yang buruk rupa dan Boru SIHOTANG menyeletuk; “Jelek sekali orang ini seperti beruk aku lihat” (versi Toba; “Roa nai jolma on songon bodat huida”). Perkataan itu kedengaran oleh orang tadi dan dia membalas; “Aku kamu bilang seperti beruk? Biarlah lahir anakmu yang seperti beruk!” (versi Toba; “Ahu didok ho songon bodat? Ba sai tubuma anakmu na songon bodat!”). Pada saat itu Boru SIHOTANG sedang mengandung anak pertamanya dan perkataan orang tadi selalu mengiangiang di telinganya.
Pada waktu akan melahirkan Boru SIHOTANG Na Uli pernah bermimpi ada seorang tua datang padanya dan mengatakan bahwa yang akan lahir darinya adalah bayi laki-laki yang memiliki kesaktian sebab itu tidak perlu kuatir atau kecewa apabila nantinya ada yang agak berbeda pada tubuhnya. Mimpinya ini diberitahukan pada suaminya dan mereka berdua merasa was-was menantikan kelahiran anak pertama mereka.
Tibalah harinya, setelah bersalin diketahui bahwa sang bayi memiliki bentuk tulang punggung lebih panjang sekitar satu jari telunjuk dari bokongnya tampak seperti ekor yang pendek. Dan saat itu RAJA HUTABULU melirik keluar jendela rumahnya, tampak ada seorang tua berdiri di halaman rumahnya dan berkata; “Hai bapak, jangan bersusah hati karena anakmu itu adalah seorang anak sakti” (versi Toba; “He amang, unang ho marsak alana anakmi nahasaktian”). Setelah berkata demikian orang itu berubah menjadi londok dan langsung memanjat pohon enau kemudian hilang di antara pelepah enau. RAJA HUTABULU spontan berteriak; “Raja Hodong.. Raja Hodong.. Raja Odong..” (versi Toba; “Raja Pelepah.. Raja Pelepah.. Raja Pelepah..”). Setelah peristiwa itu bayi pertama itu pun diberi nama RAJA ODONG. Secara fisik RAJA ODONG sangat tampan rupanya sebab ibunya cantik dan ayahnya tampan dan gagah.
RAJA ODONG makin bertambah besar dan pada waktu dia belajar duduk ayahnya membuatkan bangku pendek yang ditengahnya dilubangi tempat tulang RAJA ODONG yang seperti ekor itu. Tidak banyak orang yang mengetahui keanehan ini karena masa itu belum ada celana. Pakaian orang Batak adalah ulos yang dililitkan menutupi badan yang disebut heba heba.
Menurut penyelidikan antropologi budaya Batak Toba, sejak keberadaannya orang Batak tidak pernah bertelanjang karena ulos Batak sama usianya sejak adanya SI RAJA BATAK (orang Batak pertama). Sebelum Belanda datang ke tanah Batak, maka ulos Batak dipakai sehari-hari sebagai berikut:
- Ulos yang menutupi badan disebut heba heba.
- Ulos yang menutupi bahu ke bawah disebut hande hande yang juga sering disandangkan di bahu.
- Ulos penutup kepala disebut saong saong dan bila diikatkan di kepala maka disebut bulang bulang atau tali tali.
Tingkat budaya berpakaian pada masa itu membuat RAJA ODONG tidak merasa minder jika bersosialisasi dengan orang lain. Hanya keluarga dekat saja yang mengetahui kelebihan RAJA ODONG ini.
Lahirnya Putera Kedua RAJA HUTABULU Bernama TUMONGGO TUA
Setelah beberapa tahun kemudian istri RAJA HUTABULU kembali mengandung dan selama mengandung dia selalu memohon tuah agar MULA JADI NA BOLON (Tuhan) memberikan seorang anak laki-laki lagi tetapi yang tidak mempunyai keanehan. Doanya pun terkabul dan lahirlah seorang anak laki-laki yang rupanya sama persis seperti abangnya. Bahkan setelah dewasa kedua anak RAJA HUTABULU ini sama besarnya dan banyak orang menyangka keduanya adalah saudara kembar. Begitu lahir dan ternyata bayinya laki-laki maka dia diberi nama TUMONGGO TUA yang bila diartikan ke dalam bahasa Indonesia artinya memohon tuah melalui doa.
Setelah kedua anak ini semakin dewasa mereka kelihatan tampan dan gagah melebihi ayah mereka. Banyak gadis yang tertarik dan jatuh cinta pada mereka. Tetapi apabila berkenalan lebih jauh dengan keduanya maka akan diketahui bahwa RAJA ODONG memiliki perbedaan dengan adiknya.
Taktik dan Romantisme
Setelah sekian lama saling mencinta dengan Boru SIHOTANG paribannya, TUMONGGO TUA ingin segera menikah. Namun orang tuanya menganjurkan kalau dia boleh menikah setelah abangnya menikah. Satu-satunya cara agar TUMONGGO TUA dapat segera menikah adalah dengan mencarikan seorang calon istri bagi abangnya. Lalu pergilah TUMONGGO TUA dengan sampan ke pulau Samosir. Di sana konon banyak gadis yang sampai berumur tua belum menikah karena ketatnya hukum bersaudara. Bagi kesatuan marga keturunan NAIAMBATON yang banyak bermukim di Samosir sampai sekarang masih tetap mempertahankan tradisi tidak boleh saling menikah antar sesama keturunan marga-marga NAIAMBATON.
Selama di atas sampan dalam perjalanannya TUMONGGO TUA selalu memohon kepada MULA JADI NA BOLON supaya dia bertemu dengan seorang gadis cantik untuk dilamar menjadi kakak ipar (angkang boru). Ketika berada di tengah danau Toba tiba-tiba angin bertiup kencang sekali (alogo lubis) dan menghantam sampannya hingga sampannya hancur. Dia mencoba sekuat tenaga berenang mencapai daratan dan berhasil. Setelah berada di tepi danau Toba dia tak sadarkan diri dan pingsan.
Ombak berdebur laksana irama musik yang menyambut kedatangan TUMONGGO TUA di daerah Lontung, yaitu di Muara (sekarang persis di tempat pemandian Puteri RAJA SIANTURI). Dia terbaring hingga sore hari dia ditemukan oleh SI BORU ULI BASA Boru SIANTURI yang hendak mengambil kain cucian yang dijemur di tepi danau. Setelah melihat pemuda tampan itu BORU ULI BASA berkata; “Kalau kamu memang manusia, siapakah namamu? Kalau kamu seorang yang memiliki kesaktian maafkanlah aku tidak bermaksud menggangumu, tetapi kalau kamu manusia aku mau mendampingimu seandainya kamu membawaku pergi bersamamu menjadi istrimu” (versi Toba; “Molo na jolma do ho paboa ise goarmu. Molo na martua-tua do ho unangma muruk ho tu ahu ala ndang na manggugai ho ahu, alai molo jolma do ho olo do ahu mandongani ho aut tung olo ho mamboan ahu tu hutam gabe inantam”).
Samar-samar perkataan itu didengar oleh TUMONGGO TUA yang mulai siuman. Lalu dia mulai membuka matanya perlahan dan melihat ada seorang gadis cantik jelita di sebelahnya. Dia langsung mengucek matanya seakan tidak percaya akan apa yang dilihatnya kemudian dengan suara pelan dia berkata; “Apakah aku bermimpi berada di sebelah puteri yang cantik. Sekiranya bukan mimpi apa gadis ini mau kalau aku membawanya menjadi menantu orang tuaku? (versi Toba; “Na marnipi do ahu nuaeng di lambung ni si boru na uli basa? Aut sura na so marnipi do ahu oloma nian boanonhu gabe parumaen ni damang dohot dainang”).
Mendengar ucapan itu BORU ULI BASA langsung memegang tangan TUMONGGO TUA lalu membangunkannya dan menuntun dia berjalan menuju rumah orang tua BORU ULI BASA sebab hari sudah sore. Sesampainya di rumah, keluarga BORU ULI BASA bergembira karena kedatangan tamu seorang pemuda yang tampan dan gagah. Dalam percakapan dengan orang tua BORU ULI BASA, TUMONGGO TUA memperkenalkan diri dan menjelaskan bahwa dia adalah cucu RAJA MARSUNDUNG SIMANJUNTAK dan anak RAJA HUTABULU dari Balige. Dia juga menjelaskan bagaimana dia bisa ada di sana dan apa maksud dari perjalanan jauhnya itu. Mendengar penjelasan itu BORU ULI BASA merasa gembira dalam hatinya dia terpikat akan ketampanan TUMONGGO TUA.
Setelah beberapa hari tinggal di daerah Lontung tejadi pembicaraan antara TUMONGGO TUA dan BORU ULI BASA yang intinya tentang kesediaan BORU ULI BASA agar menjadi menantu bagi orang tua TUMONGGO TUA. Jawaban dari BORU ULI BASA sangat jelas, yaitu dia mau dan bersedia. Akan tetapi sebaliknya apabila TUMONGGO TUA mendapat pertanyaan yang sama dia tidak menjawab secara jelas bersedia namun dia menjawab pertanyaan itu dengan perkataan; “Tataplah wajahku dan perhatikanlah langkahku serta ketahuilah maksud kedatanganku” (versi Toba; “Berengma bohiku jala parateatehonma pardalanhu huhut antusima sangkap ni haroroku”).
BORU ULI BASA memang calon menantu RAJA HUTABULU tetapi bukan untuk menjadi istri bagi TUMONGGO TUA. Memang RAJA ODONG dan TUMONGGO TUA sangat mirip seperti saudara kembar di segala-galanya baik dilihat dari rupa, cara berjalan bahkan juga cara berbicara dan dari suara semuanya sama. Sangat sulit membedakan keduanya kecuali ini; RAJA ODONG memiliki kelebihan tulang belakang sepanjang jari telunjuk. Perbedaan mereka ini dirahasiakan TUMONGGO TUA demi harapan dia bisa direstui menikah setelah abangnya menikah.
Setelah berjanji bahwa mereka akan kembali bertemu, TUMONGGO TUA pamit dengan keluarga BORU ULI BASA dan nanti dia akan kembali datang bersama orang tuanya melamar BORU ULI BASA.
Setibanya di Balige TUMONGGO TUA menceritakan perjalanannya kepada abang dan orang tuanya. Kemudian mereka menyusun rencana:
- TUMONGGO TUA dan orang tuanya segera melamar puteri RAJA SILALA LASIAK yaitu BORU ULI BASA dan selama mereka di sana sepanjang pembicaraan tidak boleh memanggil TUMONGGO TUA dengan namanya tetapi dengan nama SIMANJUNTAK.
- Pesta pernikahan diadakan di rumah pihak pengantin wanita (dialap jual) dan yang mendampingi BORU ULI BASA dalam acara adat sepenuh itu (ulaon na gok) adalah TUMONGGO TUA hingga dalam perjalanan di danau Toba sampai Balige. Bila sudah tiba di dermaga maka TUMONGGO TUA turun dari perahu besar (solu bolon) dan mengikatkan tali perahu di dermaga. Bersamaan dengan itu RAJA ODONG sudah siap dan sesuai tanda RAJA ODONG langsung menggantikan posisi adiknya naik ke perahu untuk menuntun BORU ULI BASA dan seterusnya mendampinginya menjadi suami bagi BORU ULI BASA.
- Pakaian yang dikenakan kedua abang beradik ini harus dibuat sama persis. Setelah mengikatkan tali perahu di dermaga maka TUMONGGO TUA harus menghilang untuk sementara waktu dan pergi ke daerah Siraja Oloan dan tinggal di sana di rumah Tulangnya sampai BORU ULI BASA melahirkan anak pertamanya bagi RAJA ODONG.
Setelah rencana itu disepakati maka ditentukanlah kapan mereka akan berangkat. Rencana pun dilaksanakan dan pesta pernikahan meriah di daerah Muara berlangsung mulus sesuai rencana. Setelah itu mereka bertolak pulang menuju Balige melalui danau Toba. Sesampainya di dermaga di Balige yaitu tepatnya di Lumban Bul Bul sekira jam tujuh malam dan keadaan seperti ini dalam bahasa Batak Toba disebut urngum (jarak pandang mata tidak lagi memungkinkan melihat orang di kejauhan).
Di dermaga RAJA ODONG telah menunggu kedatangan rombongan keluarganya bersama BORU ULI BASA. Setelah perahu besar itu tiba dan merapat ke dermaga, turunlah TUMONGGO TUA untuk mengikatkan tali perahu lalu langsung pergi menghilang di kegelapan dan kemudian RAJA ODONG langsung naik ke perahu menjemput BORU ULI BASA serta berjalan berdampingan sampai ke rumah RAJA HUTABULU. Malam itu diadakan acara penyambutan (pangharoanion). Mulai saat itu RAJA ODONG yang mendampingi BORU ULI BASA, sedangkan adiknya sudah pergi sesuai rencana ke rumah Tulangnya.
Begitulah kisah pernikahan RAJA ODONG dengan BORU ULI BASA Boru SIANTURI sehingga ada sindiran seperti ini:
“Si RAJA ODONG papiu piu tali, tali ijuk sian bagot. Anggina manandangi, alai ibana diharoani jala mandapot”
Pekerjaan sehari-hari RAJA ODONG adalah memintal tali yang dibuat dari ijuk pohon enau. Konon pada masa itu, tali buatan RAJA ODONG ini paling baik kualitasnya dan harga jualnya tinggi di pasar Balige dan Laguboti bahkan sampai ke Porsea dan Siborong Borong. RAJA ODONG selalu duduk di bangku khusus yang berlubang di tengahnya dan kemanapun dia pergi bangku itu selalu dibawanya.
Sejak menikah dengan RAJA ODONG, BORU ULI BASA tidak pernah bekerja di sawah. Pekerjaannya adalah menggembalakan kambing. Ternak kambingnya gemuk-gemuk dan jika beranak sering sampai tiga atau empat sehingga keluarga RAJA ODONG memiliki banyak sekali ternak kambing.
Kemudian bayi pertama lahir bagi keluarga RAJA ODONG dan anak pertama mereka ini diberi nama RAJA BOLAK HAMBING atau RAJA PARHAMBING. Demikianlah seterusnya mereka dikaruniai tujuh orang anak laki-laki:
1.RAJA BOLAK HAMBING (RAJA PARHAMBING).
2.TUAN NAHODA RAJA.
3.MAHARIA RAJA (MANGORONG BAHUT).
4.RAJA MARLEANG (MARLEANG BOSI).
5.RAJA MANORHAP (RAJA SITUNGGAL).
6.RAJA MAEGA bergelar Ompu TOGA OLOAN.
7.DINGKIR ULUBALANG bergelar PARTAHI OLOAN (DATU MAEGA).
Namun, sampai sekarang baru keturunan RAJA PARHAMBING dan TUAN NAHODA RAJA saja yang sudah mengetahui bahwa mereka adalah keturunan dari RAJA ODONG. Sementara lima keturunan lagi menyebar mulai dari Tapanuli Tengah hingga ke daerah lain dan dikenal sebagai marga POHAN.
Tentang TUMONGGO TUA, setelah berita kelahiran anak pertama RAJA ODONG abangnya sampai kepadanya, betapa bahagianya dia dan paribannya itu. Lalu setelah mendengar kabar baik itu mereka berdua datang berkunjung ke Balige dan memastikan bahwa rombongan RAJA HUTABULU melamar Boru SIHOTANG (pariban TUMONGGO TUA) tersebut.
Hikayat marga SIMANJUNTAK (1 - 18) diedit dan direvisi dari tulisan “Hikayat Ibu Besar SOBOSIHON Boru SIHOTANG” yang ditulis oleh narator, Pdt.Ev. SAITUN ROBERTH HASIHOLAN SIMANJUNTAK HUTABULU XV.
Adapun maksud hikayat SIMANJUNTAK ini diposting adalah supaya banyak pembaca mengenal dan mengerti seluk beluk kisah marga SIMANJUNTAK.
Bagi mereka keturunan SIMANJUNTAK supaya memiliki wawasan budaya dan bukan hanya sekedar menamakan dirinya SIMANJUNTAK PARSURATAN atau SIMANJUNTAK SITOLU SADA INA, namun di atas segalanya mari kita tidak melupakan sejarah dan belajar dari sejarah itu.
Jika ada akar pahit dan kebencian mari kita cabut dan mari kita tingkatkan rasa persaudaraan dan keakraban di antara kita keluarga SIMANJUNTAK keturunan RAJA MARSUNDUNG SIMANJUNTAK.
Botima sian hami Horas!

 Profil lengkap saya :